Mendung
kelabu menutupi istanaku. Hujan deras membanjiri seisi rumahku. Gadis kecil
yang lucu, putih dan montok kini terbujur kaku. Takada lagi senyum di wajahnya,
takada lagi tangis di bibirnya dan takada lagi gerak lucu yang selalu membuatku
rindu. Semua telah kaku. Dan aku hanya bisa menatapnya tak berdaya, air
matakupun tak bisa terbendung membasahi kedua pipiku. Sebagai seorang ibu, aku
merasa tak dipercaya untuk bisa memelihara rejeki yang telah Allah berikan.
Sejuta penyesalan datang tak kunjung padam. Aku hanya bisa menangis..menangis
dan menangis
Nak,
Sang penguasa alam semesta, pencipta kita semua hanya menakdirkan dirimu hadir
menemaniku di dunia ini selama 20 hari. Yah…hanya 20 hari
tepatnya dari tanggal 18 maret hingga 6 April 2007. Tanggal yang
seharusnya kita bersiap-siap karena besok adalah hari ulangtahun Papahmu yang
ke-36, ternyata tahun ini ulangtahunnya diisi dengan duka yang tiada terkira.
Kami terpuruk Nak, kami tak pernah menyangka, jika kejutan yang akan kau berikan
di hari sebelum ulangtahun papahmu adalah kepergianmu.
Padahal
selama 9 bulan kamu bermain di rahimku dengan aktifnya, kutunggu hadirmu di
dunia ini dengan penuh kerinduan. Namun sayang, takdir berkata lain. Dan aku
sekeluarga harus mengikhlaskannya.
Faiqatuzihni Zulfa Ulya Mufidah,
kuberi namamu dengan penuh kasih sayang dan cinta luar biasa. Banyak impian
yang telah aku rangkai indah untukmu jika besar nanti. Kini harapan tinggal impian, kau
pergi meninggalkan kami semua dengan luka
tak berkesudahan.
Hari
itu tepatnya 17 Maret 2007. Aku masih berada di lapangan sepakbola mengawasi
anggota persit kompi cheetah yang sedang bertanding kasti. Kuselalu berdoa agar
mereka bisa menang dan bahagia sehingga nama kompi kami menjadi juara. Serangkaian
lomba menyambut ulangtahun persit
kartika Chandra kirana ke-61 telah kami lewati, dan beberapa diantaranya
menjadi juara ke-1. Sorak sorai kebahagiaan mengiringi kemenangan kompi kami.
Mungkin
karena selama seminggu ini aku terus di lapangan, badanku kelelahan dan jabang
bayi di perutkupun ingin ikut merayakan kemenangan kompi kami. Tepat pukul 1.30
wib malam. Perutku mulas,
kubangunkan suamiku.
“Pah,
perut mamah mulas sekali, “kataku sambil
merintih kesakitan.
“Emang
sekarang udah berapa bulan,”Tanya suamiku
“Sembilan
bulan, perkiraan emang tanggal 20an kata bidan juga,”jawabku.
“Sebentar, “kata suamiku sambil mengambil HT dan
menghubungi orang kesehatan serta Bamin Kompi.
Taklama
kemudian, tentara bagian kesehatan datang mengecek kondisiku. Disusul oleh Bamin (bagian administrasi di
kompi) yang membawa paraji, Mak Yayah namanya. Mak Yayah kemudian mengecekku
dan dia tersenyum, sambil berkata,”sudah pembukaan dua neng, kayaknya nanti
siang.”
“Benarkah
mak,”tanyaku bahagia.
Tentara
bagian kesehatan langsung memanggil supir bagian ambulan dan membawanya ke
rumahku. Pukul 2.00 wib malam suasana rumahku ramai oleh tentara bagian
kesehatan, bamin, paraji dan anak-anakku yang terbangun karena berisik.
Kusiapkan perlengkapan persalinan yang hendak aku bawa. Dan aku ijin untuk
melaksanakan sholat tahajud sebelum waktunya tiba.
Aku
tinggal di kesatriaan batalyon 303 Cikajang Garut, jauh dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan
masih minim, sehingga kalau ada apa-apa yang urusannya dengan ibu hamil, maka
bidan dan parajilah yang diturunkan. Dan jika kondisi tidak memungkinkan, baik
ibu hamil maupun orang sakit akan di rujuk ke rumah sakit yang letaknya di kota
garut. Sekitar 40-60 menit perjalanan.
Selesai
Tahajud, Mak Yayah kembali mengecekku dan ternyata sudah pembukaan lima dan
disarankan segera dibawa ke rumah sakit Talun/Kesrem Garut. Ambulanpun langsung
dinyalakan dan kami berangkat ke garut, sementara anak-anak dititipkan ke
tetangga. Inilah kehidupan kami di asrama tentara, walaupun kami tidak bersaudara,
berbeda asal daerah akan tetapi rasa kebersamaan diantara kami sangat terjaga.
Karena kami merasa satu rasa, sebagai istri dari anggota tentara yang siap
ditinggal kemana saja dan kapan saja Negara membutuhkan menjaga negeri ini.
Sesampai
di rumah sakit, aku langsung masuk ke ruang bersalin. Rasa mulas semakin sering
dan luar biasa hingga aku beristigfar tak henti-hentinya. Setiap akan
melahirkan, aku selalu berpesan kepada suamiku, agar bisa menjaga anak-anak
jika terjadi sesuatu saat persalinanku. Melahirkan adalah fase yang sangat
dinantikan. Namun fase ini memiliki resiko besar, mempertahankan hidup dan
mati. Selalu ada ketakutan dalam hatiku,
jika kelak aku tiada bagaimana anak-anak dan suamiku, Itulah yang sering
terbersit di benakku.
Adzan
subuh berkumandang, suamiku ke masjid sebentar untuk melaksanakan sholat
berjamaah. Dan saat dia pulang, aku ijin
untuk melaksanakan sholat subuh di samping tempat bersalin. Walaupun dokter dan
suster bilang, takutnya sudah tidak kuat, akan tetapi aku memaksa. Aku sholat
seperti biasa sambil menahan nyeri.
Alhamdulillah
selesai juga sholatku tanpa gangguan.
Kehamilanku yang ketiga ini semuanya dimudahkan, akupun bisa melaksanakan
puasa sebulan penuh di bulan ramadhan
tanpa ada yang dirasa. Dan Kehamilanku ini, adalah kehamilan yang ditemani
suamiku dari sejak awal hamil hingga melahirkan.
Berbeda
dengan anak-anakku yang dua sebelumnya, anakku yang pertama, saat aku hamil
mulai 7 bulan, aku tinggal bersama ibuku di kampung yaitu Manislor Jalaksana kuningan, hanya saat
weekend saja suamiku pulang. Namun saat
hendak melahirkan dia cuti, sehingga kelahiranku yang pertama suamiku ada di
sampingku. Anakku yang kedua, saat kehamilanku, suamiku sedang sekolah perwira,
dan saat melahirkanpun dia tidak berada di sampingku. Makanya anakku yang ketiga, rasanya istimewa
sekali.
Seusai
sholat subuh, tak berapa lama perutku kembali kontraksi luar biasa, hingga aku
tak kuat menahannya. Pengalamanku melahirkan dua anak sebelumnya, memang tak
pernah pecah air ketuban duluan. Begitupun dengan kehamilanku yang ketiga ini,
tak ada pecah air ketuban. Saat di cek ternyata aku sudah pembukaan kesepuluh.
Dan aku disuruh langsung naik ke tempat tidur, dokter dan susterpun mulai
mempersiapkan persalinanku. Kulihat suamiku begitu cemas. Dia tidak berani
menemaniku, begitulah dia. Takpernah tahan jika melihatku kesakitan. Kulihat
dia menunggu di luar sambil berjalan mondar mandir. Padahal harapanku dia
berada di sampingku. Namun apa daya, suamiku memang seperti itu, dia tidak tega
melihatku dalam keadaan susah dan sakit.
Pukul
06.10 persalinanpun selesai, aku melahirkan normal. Badanku rasanya lemas
sekali. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, kutanya suamiku, “Dedenya mana
Pah,”tanyaku lirih.
“Sebentar,
lagi dibersihkan dulu, “jawab suamiku sambil membelai rambutku dan memegang
tanganku.
“Komplit
semuanya pah, sehat, “tanyaku lagi dengan suara setengah berbisik
“Alhamdulillah
sehat, komplit, “jawab suamiku sambil tersenyum.
Taklama
kemudian suster datang dan membawa bayi kecilku yang lucu.” Aku ingin
menggendongnya, “pintaku
“silakan
bu, “jawab suster.
“Ibu,
bayinya mau diberi asi atau susu formula dulu, “Tanya suster.
“Asi aja
sus, “jawabku.
Suamiku
membantu membangunkanku agar bisa duduk dan menopangkan bantal di belakang
punggungku. Kubuka bra yang menutupi payudaraku, dan kuberikan asi kepada bayi
kecilku. Dia lucu sekali, mencari-cari puting susuku, dia masih kebingungan.
Bayi
kecilku putih, gemuk, sipit dan rambutnya hitam lebat. Diantara dua kakaknya,
dialah yang berat badannya lebih berbobot. Kakaknya yang pertama Anggita
namanya, saat lahir berat badannya hanya 2,6 kg. Anakku yang kedua Sutan
beratnya 3 kg lahirnya premature. Dan gadis mungilku ini lahir dengan berat
badan 3,3 kg. Alhamdulillah ya Allah, aku dipercaya untuk mengasuh anak-anakku
yang soleh dan solehah ini. Semoga mereka menjadi anak-anak yang berbakti dan
berguna bagi nusa bangsa agama dan orangtua. Amin, “ucapku dalam hati tanpa
sadar sambil meneteskan air mata bahagia.
Setelah
minum asi, anakku langsung tidur. Dan suster memintanya agar ditidurkan di box
bayi. Namun, aku tak mengijinkan. Aku takut anakku ada yang menukar atau
diambil orang seperti di sinetron-sinetron. Aku tidurkan anakku di sampingku.
Dan suamiku menyuapiku makan.
Setelah
melihat aku dan anakku tenang, suamiku ijin pulang dulu hendak melihat anakku
yang dua yang ditinggalkan di rumah dan akan membawanya ke rumah sakit, untuk
melihat adiknya yang baru lahir.
“Papah ke
rumah dulu yah, lihat kakak dan abang takut kenapa-kenapa,”kata suamiku.
“iya,
jangan lupa ari-ari dan kain bekas
lahiran bawa pulang, minta tolong mak yayah aja membersihkannya sekalian,
“kataku.
“iya,
“jawab suamiku.
Suamiku
pergi dan menutup pintu kamar, sementara aku tak terasa ketiduran. Mungkin
karena lelah setelah berjuang melahirkan bayi kecilku ini.
Tak
terasa, waktu terus berjalan. Pukul 14,00 wib, suami dan anak-anakku datang.
Mereka sangat senang menyambut adik barunya. Aku pun tersenyum melihat tingkah
mereka.
Karena
aku melahirkan normal, dan kondisinya sehat, dokter memperbolehkan aku dan
bayiku pulang cepat. Suamikupun menelpon petugas kesehatan Batalyon 303
memberitahukan jika kami bisa pulang.
Sambil
menunggu ambulan tiba, akupun makan di suapi oleh anakku yang kedua, abang
Sutan. Aku terharu melihat kasih sayang yang dia berikan, semoga dia selamanya
akan menyayangiku hingga aku renta kelak.
Mobil
Ambulanpun tiba dan kami pulang ke rumah. Alhamdulillah, banyak tetangga yang
berdatangan menjenguk bayi kecil yang menggemaskan ini.
Bayi
kecilku, diberi nama Faiqatuzihni zulfa ulya mufidah dengan harapan semoga
gadis kecilku ini menjadi anak yang berakhlak mulia dan menjadi anak pintar
yang solehah. Amin.
Hari
berganti hari, tak terasa tiga hari sudah anakku terlahir kedua ini. Kata Mak
Yayah, mumpung masih kecil, segera ditindik dan dipasangkan anting-anting
karena bergitulah ilaharna jika gadis kecil dilahirkan. Pasti akan ditindik
telinganya dan dipasangkan perhiasan.
Begitupun
dengan dede Faiqa, telinganya ditindik oleh Ibu bidan Siti, dia menjerit
kesakitan. Hingga hatiku terbawa sakit. Tak tega mendengar tangisannya. Namun
apadaya, adat telah menjadi suatu kebiasaan.
Hari
ketujuh, kami mengadakan acara syukuran kelahiran yaitu aqiqah, seperti umumnya
melahirkan anak perempuan, maka satu kambing dipotong dan dibagikan ketetangga
semuanya. Begitupun dengan keluargaku, mengadakan acara yang sama. Ibu dan
mertuakupun hadir, dan ikut membantu memasak beserta ibu-ibu kompi cheetah dan
kompi banteng. Ramai sekali suasana rumahku, ada gelak tawa dan senda gurau
menceritakan saat-saat mereka kemarin-kemarin berjuang dan bertanding kasti,
bola volley, senam, tumpeng, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hymne persit.
Seru sekali, dan akupun ikut nimbrung sambil membantu memasuk-masukan hidangan
ke dalam kotak berekat berisi makanan yang akan dibagikan. Acara dilanjutkan
dengan pengajian dan pengguntingan rambut sebagai rangkaian prosesi acara
aqiqah yang dipimpin oleh ustadz ujang yang ada di batalyon 303.
Setelah
prosesi acara pengajian, tamu-tamupun pulang. Tinggallah kami sekeluarga
bersama ibuku dan ibu mertuaku. Namun
merekapun besok harinya pulang karena mereka mempunyai pekerjaan di kampungnya.
Hari-hari
berjalan penuh dengan kebahagiaan. Setiap hari De Faiqa menunjukkan
perkembangannya. Pipinya makin gembil, sehingga makin jelaslah sipit matanya
karena terdesak oleh pipinya yang tembem.
Hingga
suatu hari tepatnyaitu tanggal 5 April 2007, suamiku menjadi petugas piket di batalyon sehingga tidak tidur
di rumah. Sementara itu lampu mati sejak magrib hingga pagi menjelang. Rumahku
yang biasa terang benderang oleh lampu menjadi temaram.
Kesatriaan
303 Cikajang Garut merupakan tempat bercuaca dingin. Sehingga setiap rumah
pasti memiliki pemanas air, bahkan ada yang memiliki pemanas ruangan. Kami
tidak mempunyai pemanas ruangan makanya oleh
tentara bagian PIMU yaitu Pak Rahmat
dibuatkan rangkaian papan balok yang bisa dipasangi lampu 100 wattan sebanyak 3
buah. Lumayan cukup menghangatkan ruangan kamar anakku agar tidak kedinginan.
Saat
Dede Faiqa lahir, balok lampu yang biasa ada di kamar anakku yang dua,
kupindahkan ke kamarku, sehingga bayi kecilku tidak kedinginan. Namun
sayang malam itu karena mati lampu,
ruangan kamarkupun menjadi terasa dingin. Aku hanya menggunakan lampu emergency saja, takada kehangatan.
Anakku yang dua sudah tertidur pulas begitupun dengan Dede Faiqa.
Namun,
perkiraanku rupanya salah. Sepertinya Dede Faiqa kedinginan hanya saja aku
tidak mengerti. Aku hanya menyelimutinya saja dengan selimut tebal, akan tetapi
semalaman dia diam saja, Kubangunkan untuk minum Asi,
namun dia tidak lapar sepertinya. Aku kembali tertidur. Hingga pagi tiba.
Kulihat bayi kecilku, mengapa dia tumben tidak menangis meminta minum asi. Kuangkat tubuhnya, dia lemas sekali. Aku
bingung. Taklama kemudian suamiku datang dan menanyakan mengapa aku menangis dan seperti kebingungan.
“Mas,
dede mas, dia lemas sekali,”kataku sambil menangis. Suamiku langsung masuk ke
kamar dan melihat Dede Faiqa.
“Suamiku
langsung memanggil petugas kesehatan dan meminta tolong Bamin memanggil Mak
Yayah. Tak lama kemudian petugas kesehatan mengecek kondisi Dede Faiqa,
begitupun dengan Mak Yayah. Dan mereka mengusulkan agar kami segera membawanya
ke rumah sakit.
Sambil
bersiap-siap aku perhatikan terus anakku, dan tiba-tiba dia mengerang seperti
kesakitan, tubuhnya membiru dan kejang. Aku teriak sambil menangis.
“Maaaaaas,….dede
mas, “teriakku histeris.
Suamiku
yang sedang mengobrol dengan Bamin berlari
ke kamar dan memanggil ambulan agar segera datang. Ambulanpun datang dan kami
bersiap ke rumah sakit. Anakku yang dua kembali ditinggalkan dan dititipkan ke
tetangga.
Sesampai
di rumah sakit, anakku langsung di bawa ke IGD, dan ditangani oleh dokter.
Tangannya di infus dan diberi pipa oksigen ke hidungnya. Aku tak tega
melihatnya. Gadis kecilku yang putih dan montok, kini terbaring kesakitan,
sementara aku tak tahu apa yang harus
aku lakukan, dan apa yang telah terjadi padanya. Aku hanya bisa menangis saja.
Beberapa
saat kemudian, Alhamdulillah dia sudah
terlihat tenang. Petugas kesehatan dari Batalyon 303 menanyakan kondisi anakku.
“Bu,
bagaimana keadaannya? Apa perlu dirujuk ke Dustira Bandung,”Tanya Om Iman.
“Kata
Dokter sudah bisa ditangani dan sebentar lagi masuk ruangan, sekarang lagi
disiapkan, Jawabku.
“Syukurlah,
kalau begitu kami pulang dulu yah bu,
Dan, “Kata Om Rudi, supir ambulan
Tak
berapa lama kemudian, suster bilang jika ruangan sudah siap dan kami bisa pindah
ke kamar. Kamipun bergegas ke kamar. Setelah pindah ke kamar, aku mulai tenang
dan ijin ke suamiku ingin mandi dulu karena dari pagi belum mandi.
“Mas,
jagain dede yah, saya mandi dulu,”ucapku.
‘Iya,”jawab
suamiku.
Selesai
mandi kusuruh suamiku sholat jumat, tapi dia bilang ingin di sini saja. Biar
sholat di sini saja. Aku baru teringat jika aku tidak membawa pembalut, tissue
dan perlengkapan lainnya. Setelah
suamiku sholat, aku minta tolong dia belanja dulu ke supermarket.
Pergilah
suamiku ke supermarket sekalian membeli makan siang. Karena lapar dari pagi
tidak sempat makan dulu. Saat suamiku tidak ada, aku bersih-bersih kamar, dan
tiba-tiba ada petugas kesehatan yang datang dan mau menyuntik anakku, tapi katanya
harus di tes dulu suntikannya takut alergi, dan tangan yang telah disuntiknya
itu diberi tanda lingkaran. Aku menurut saja.
Tak
lama kemudian, anakku kejang lagi. Aku kaget sekali, sementara suamikupun
takada, bagaimana ini. Aku berlari sekencang-kencangnya ke ruang IGD sambil
membawa anakku yang membiru dan kejang. Luka bekas melahirkan tak kurasakan, orang-orang yang
melihatkupun tak aku perhatikan. Aku hanya ingin agar anakku segera ditolong.
Namun sayang,
ternyata dokter jaga hari itu sedang keluar menjemput anaknya sekolah. Lalu bagaimana
dengan anakku yang sedang kritis, yang dia bilang tadi sudah stabil keadaannya.
Anakku
kembali diperiksa, denyut jantungnya mulai melemah dan di tempelkan alat
penghentak jantung, aku sudah berteriak-teriak ketika suamiku datang, Diapun kaget,
mengapa sampai terjadi demikian. Berulang kali alat penghentak jantung itu dicoba ditempelkan di dada anakku. Namun
takdir berkata lain, ku lihat jari-jari kaki anakku ada gerakan biru yang berjalan
merayapi kakinya, pahanya, badannya dan terakhir detak jantungnya,……dan tuuuuut
……..bunyi alat pengecek detak jantung, yang menandakan jika jantung anakku
berhenti.
Suamiku
yang sedang mengaji terus mengaji semakin keras, menahan tangis. Aku terpaku di
samping anakku yang sedang diambil ruhnya oleh yang maha kuasa. Ku terduduk
lemas, takada kata yang bisa kuucapkan selain airmata yang terus berderai.
Anakku
buah hatiku, walau kau telah tiada, akan tetapi kenangan indah bersamamu akan
terus terkenang di hati ayah ibu dan
kakak-kakakmu. Semoga kamu bahagia di alam sana bersama sang kuasa yang lebih
mencintai dan menyayangimu.
Suamiku
langsung memberitahu Bamin di kantornya, keluarga dan ambulan. Baminpun datang
bersama ustadz ujang, anakku langsung dimandikan dan dikafani. Aku masih diam
terpaku dalam kesakitan hati yang begitu dalam. Anakku, kamu benar-benar
ditemani papahmu dari mulai hamil,lahir hingga meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar