Pengikut

Selasa, 01 Februari 2022

BUAH HATI YANG TELAH PERGI


 

Mendung kelabu menutupi istanaku. Hujan deras membanjiri seisi rumahku. Gadis kecil yang lucu, putih dan montok kini terbujur kaku. Takada lagi senyum di wajahnya, takada lagi tangis di bibirnya dan takada lagi gerak lucu yang selalu membuatku rindu. Semua telah kaku. Dan aku hanya bisa menatapnya tak berdaya, air matakupun tak bisa terbendung membasahi kedua pipiku. Sebagai seorang ibu, aku merasa tak dipercaya untuk bisa memelihara rejeki yang telah Allah berikan. Sejuta penyesalan datang tak kunjung padam. Aku hanya bisa menangis..menangis dan menangis

Nak, Sang penguasa alam semesta, pencipta kita semua hanya menakdirkan dirimu hadir menemaniku di dunia ini selama 20 hari. Yah…hanya  20 hari  tepatnya dari tanggal 18 maret hingga 6 April 2007. Tanggal yang seharusnya kita bersiap-siap karena besok adalah hari ulangtahun Papahmu yang ke-36, ternyata tahun ini ulangtahunnya diisi dengan duka yang tiada terkira. Kami terpuruk Nak, kami tak pernah menyangka, jika kejutan yang akan kau berikan di hari sebelum ulangtahun papahmu adalah kepergianmu.

Padahal selama 9 bulan kamu bermain di rahimku dengan aktifnya, kutunggu hadirmu di dunia ini dengan penuh kerinduan. Namun sayang, takdir berkata lain. Dan aku sekeluarga  harus mengikhlaskannya.

Faiqatuzihni Zulfa Ulya Mufidah, kuberi namamu dengan penuh kasih sayang dan cinta luar biasa. Banyak impian yang telah aku rangkai indah untukmu jika  besar nanti. Kini harapan tinggal impian, kau pergi meninggalkan kami semua dengan luka  tak berkesudahan.

Hari itu tepatnya 17 Maret 2007. Aku masih berada di lapangan sepakbola mengawasi anggota persit kompi cheetah yang sedang bertanding kasti. Kuselalu berdoa agar mereka bisa menang dan bahagia sehingga nama kompi kami menjadi juara. Serangkaian lomba  menyambut ulangtahun persit kartika Chandra kirana ke-61 telah kami lewati, dan beberapa diantaranya menjadi juara ke-1. Sorak sorai kebahagiaan mengiringi kemenangan kompi kami.

Mungkin karena selama seminggu ini aku terus di lapangan, badanku kelelahan dan jabang bayi di perutkupun ingin ikut merayakan kemenangan kompi kami. Tepat pukul 1.30 wib  malam. Perutku mulas, kubangunkan  suamiku.

“Pah, perut mamah  mulas sekali, “kataku sambil merintih kesakitan.

“Emang sekarang udah berapa bulan,”Tanya suamiku

“Sembilan bulan, perkiraan emang tanggal 20an kata bidan juga,”jawabku.

“Sebentar,  “kata suamiku sambil mengambil HT dan menghubungi orang kesehatan serta Bamin Kompi.

Taklama kemudian, tentara bagian kesehatan datang mengecek kondisiku.  Disusul oleh Bamin (bagian administrasi di kompi) yang membawa paraji, Mak Yayah namanya. Mak Yayah kemudian mengecekku dan dia tersenyum, sambil berkata,”sudah pembukaan dua neng, kayaknya nanti siang.”

“Benarkah mak,”tanyaku bahagia.

Tentara bagian kesehatan langsung memanggil supir bagian ambulan dan membawanya ke rumahku. Pukul 2.00 wib malam suasana rumahku ramai oleh tentara bagian kesehatan, bamin, paraji dan anak-anakku yang terbangun karena berisik. Kusiapkan perlengkapan persalinan yang hendak aku bawa. Dan aku ijin untuk melaksanakan sholat tahajud sebelum waktunya tiba.

Aku tinggal di kesatriaan batalyon 303 Cikajang Garut,  jauh dari rumah sakit dan fasilitas kesehatan masih minim, sehingga kalau ada apa-apa yang urusannya dengan ibu hamil, maka bidan dan parajilah yang diturunkan. Dan jika kondisi tidak memungkinkan, baik ibu hamil maupun orang sakit akan di rujuk ke rumah sakit yang letaknya di kota garut. Sekitar 40-60 menit perjalanan.

Selesai Tahajud, Mak Yayah kembali mengecekku dan ternyata sudah pembukaan lima dan disarankan segera dibawa ke rumah sakit Talun/Kesrem Garut. Ambulanpun langsung dinyalakan dan kami berangkat ke garut, sementara anak-anak dititipkan ke tetangga. Inilah kehidupan kami di asrama tentara, walaupun kami tidak bersaudara, berbeda asal daerah akan tetapi rasa kebersamaan diantara kami sangat terjaga. Karena kami merasa satu rasa, sebagai istri dari anggota tentara yang siap ditinggal kemana saja dan kapan saja Negara membutuhkan menjaga negeri ini.

Sesampai di rumah sakit, aku langsung masuk ke ruang bersalin. Rasa mulas semakin sering dan luar biasa hingga aku beristigfar tak henti-hentinya. Setiap akan melahirkan, aku selalu berpesan kepada suamiku, agar bisa menjaga anak-anak jika terjadi sesuatu saat persalinanku. Melahirkan adalah fase yang sangat dinantikan. Namun fase ini memiliki resiko besar, mempertahankan hidup dan mati. Selalu ada ketakutan dalam  hatiku, jika kelak aku tiada bagaimana anak-anak dan suamiku, Itulah yang sering terbersit di benakku.

Adzan subuh berkumandang, suamiku ke masjid sebentar untuk melaksanakan sholat berjamaah. Dan saat dia pulang,  aku ijin untuk melaksanakan sholat subuh di samping tempat bersalin. Walaupun dokter dan suster bilang, takutnya sudah tidak kuat, akan tetapi aku memaksa. Aku sholat seperti biasa sambil menahan nyeri.

Alhamdulillah  selesai juga sholatku tanpa gangguan. Kehamilanku yang ketiga ini semuanya dimudahkan, akupun bisa melaksanakan puasa  sebulan penuh di bulan ramadhan tanpa ada yang dirasa. Dan Kehamilanku ini, adalah kehamilan yang ditemani suamiku dari sejak awal hamil hingga melahirkan.

Berbeda dengan anak-anakku yang dua sebelumnya, anakku yang pertama, saat aku hamil mulai 7 bulan, aku tinggal bersama ibuku di kampung yaitu   Manislor Jalaksana kuningan, hanya saat weekend saja suamiku  pulang. Namun saat hendak melahirkan dia cuti, sehingga kelahiranku yang pertama suamiku ada di sampingku. Anakku yang kedua, saat kehamilanku, suamiku sedang sekolah perwira, dan saat melahirkanpun dia tidak berada di sampingku.  Makanya anakku yang ketiga, rasanya istimewa sekali.

Seusai sholat subuh, tak berapa lama perutku kembali kontraksi luar biasa, hingga aku tak kuat menahannya. Pengalamanku melahirkan dua anak sebelumnya, memang tak pernah pecah air ketuban duluan. Begitupun dengan kehamilanku yang ketiga ini, tak ada pecah air ketuban. Saat di cek ternyata aku sudah pembukaan kesepuluh. Dan aku disuruh langsung naik ke tempat tidur, dokter dan susterpun mulai mempersiapkan persalinanku. Kulihat suamiku begitu cemas. Dia tidak berani menemaniku, begitulah dia. Takpernah tahan jika melihatku kesakitan. Kulihat dia menunggu di luar sambil berjalan mondar mandir. Padahal harapanku dia berada di sampingku. Namun apa daya, suamiku memang seperti itu, dia tidak tega melihatku dalam keadaan susah dan sakit.

Pukul 06.10 persalinanpun selesai, aku melahirkan normal. Badanku rasanya lemas sekali. Dalam keadaan antara sadar dan tidak, kutanya suamiku, “Dedenya mana Pah,”tanyaku lirih.

“Sebentar, lagi dibersihkan dulu, “jawab suamiku sambil membelai rambutku dan memegang tanganku.

“Komplit semuanya pah, sehat, “tanyaku lagi dengan suara setengah berbisik

“Alhamdulillah sehat, komplit, “jawab suamiku sambil tersenyum.

Taklama kemudian suster datang dan membawa bayi kecilku yang lucu.” Aku ingin menggendongnya, “pintaku

“silakan bu, “jawab suster.

“Ibu, bayinya mau diberi asi atau susu formula dulu, “Tanya suster.

“Asi aja sus, “jawabku.

Suamiku membantu membangunkanku agar bisa duduk dan menopangkan bantal di belakang punggungku. Kubuka bra yang menutupi payudaraku, dan kuberikan asi kepada bayi kecilku. Dia lucu sekali, mencari-cari puting susuku, dia masih kebingungan.

Bayi kecilku putih, gemuk, sipit dan rambutnya hitam lebat. Diantara dua kakaknya, dialah yang berat badannya lebih berbobot. Kakaknya yang pertama Anggita namanya, saat lahir berat badannya hanya 2,6 kg. Anakku yang kedua Sutan beratnya 3 kg lahirnya premature. Dan gadis mungilku ini lahir dengan berat badan 3,3 kg. Alhamdulillah ya Allah, aku dipercaya untuk mengasuh anak-anakku yang soleh dan solehah ini. Semoga mereka menjadi anak-anak yang berbakti dan berguna bagi nusa bangsa agama dan orangtua. Amin, “ucapku dalam hati tanpa sadar sambil meneteskan air mata bahagia.

Setelah minum asi, anakku langsung tidur. Dan suster memintanya agar ditidurkan di box bayi. Namun, aku tak mengijinkan. Aku takut anakku ada yang menukar atau diambil orang seperti di sinetron-sinetron. Aku tidurkan anakku di sampingku. Dan suamiku menyuapiku makan.

Setelah melihat aku dan anakku tenang, suamiku ijin pulang dulu hendak melihat anakku yang dua yang ditinggalkan di rumah dan akan membawanya ke rumah sakit, untuk melihat adiknya yang baru lahir.

“Papah ke rumah dulu yah, lihat kakak dan abang takut kenapa-kenapa,”kata suamiku.

“iya, jangan lupa ari-ari dan  kain bekas lahiran bawa pulang, minta tolong mak yayah aja membersihkannya sekalian, “kataku.

“iya, “jawab suamiku.

Suamiku pergi dan menutup pintu kamar, sementara aku tak terasa ketiduran. Mungkin karena lelah setelah berjuang melahirkan bayi kecilku ini.

Tak terasa, waktu terus berjalan. Pukul 14,00 wib, suami dan anak-anakku datang. Mereka sangat senang menyambut adik barunya. Aku pun tersenyum melihat tingkah mereka.

Karena aku melahirkan normal, dan kondisinya sehat, dokter memperbolehkan aku dan bayiku pulang cepat. Suamikupun menelpon petugas kesehatan Batalyon 303 memberitahukan jika kami bisa pulang.

Sambil menunggu ambulan tiba, akupun makan di suapi oleh anakku yang kedua, abang Sutan. Aku terharu melihat kasih sayang yang dia berikan, semoga dia selamanya akan menyayangiku hingga aku renta kelak.

Mobil Ambulanpun tiba dan kami pulang ke rumah. Alhamdulillah, banyak tetangga yang berdatangan menjenguk bayi kecil yang menggemaskan ini.

Bayi kecilku, diberi nama Faiqatuzihni zulfa ulya mufidah dengan harapan semoga gadis kecilku ini menjadi anak yang berakhlak mulia dan menjadi anak pintar yang solehah. Amin.

Hari berganti hari, tak terasa tiga hari sudah anakku terlahir kedua ini. Kata Mak Yayah, mumpung masih kecil, segera ditindik dan dipasangkan anting-anting karena bergitulah ilaharna jika gadis kecil dilahirkan. Pasti akan ditindik telinganya dan dipasangkan perhiasan.

Begitupun dengan dede Faiqa, telinganya ditindik oleh Ibu bidan Siti, dia menjerit kesakitan. Hingga hatiku terbawa sakit. Tak tega mendengar tangisannya. Namun apadaya, adat telah menjadi suatu kebiasaan.

Hari ketujuh, kami mengadakan acara syukuran kelahiran yaitu aqiqah, seperti umumnya melahirkan anak perempuan, maka satu kambing dipotong dan dibagikan ketetangga semuanya. Begitupun dengan keluargaku, mengadakan acara yang sama. Ibu dan mertuakupun hadir, dan ikut membantu memasak beserta ibu-ibu kompi cheetah dan kompi banteng. Ramai sekali suasana rumahku, ada gelak tawa dan senda gurau menceritakan saat-saat mereka kemarin-kemarin berjuang dan bertanding kasti, bola volley, senam, tumpeng, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan hymne persit. Seru sekali, dan akupun ikut nimbrung sambil membantu memasuk-masukan hidangan ke dalam kotak berekat berisi makanan yang akan dibagikan. Acara dilanjutkan dengan pengajian dan pengguntingan rambut sebagai rangkaian prosesi acara aqiqah yang dipimpin oleh ustadz ujang yang ada di batalyon 303.

Setelah prosesi acara pengajian, tamu-tamupun pulang. Tinggallah kami sekeluarga bersama ibuku dan ibu mertuaku.  Namun merekapun besok harinya pulang karena mereka mempunyai pekerjaan di kampungnya.

Hari-hari berjalan penuh dengan kebahagiaan. Setiap hari De Faiqa menunjukkan perkembangannya. Pipinya makin gembil, sehingga makin jelaslah sipit matanya karena terdesak oleh pipinya yang tembem.

Hingga suatu hari tepatnyaitu tanggal 5 April 2007, suamiku menjadi  petugas piket di batalyon sehingga tidak tidur di rumah. Sementara itu lampu mati sejak magrib hingga pagi menjelang. Rumahku yang biasa terang benderang oleh lampu menjadi temaram.

Kesatriaan 303 Cikajang Garut merupakan tempat bercuaca dingin. Sehingga setiap rumah pasti memiliki pemanas air, bahkan ada yang memiliki pemanas ruangan. Kami tidak mempunyai pemanas ruangan makanya  oleh tentara bagian PIMU yaitu  Pak Rahmat dibuatkan rangkaian papan balok yang bisa dipasangi lampu 100 wattan sebanyak 3 buah. Lumayan cukup menghangatkan ruangan kamar anakku agar tidak kedinginan.

Saat Dede Faiqa lahir, balok lampu yang biasa ada di kamar anakku yang dua, kupindahkan ke kamarku, sehingga bayi kecilku tidak kedinginan. Namun sayang  malam itu karena mati lampu, ruangan kamarkupun menjadi terasa dingin. Aku hanya menggunakan  lampu emergency saja, takada kehangatan. Anakku yang dua sudah tertidur pulas begitupun dengan Dede Faiqa.

Namun, perkiraanku rupanya salah. Sepertinya Dede Faiqa kedinginan hanya saja aku tidak mengerti. Aku hanya menyelimutinya saja dengan selimut tebal, akan tetapi  semalaman  dia diam saja, Kubangunkan untuk minum Asi, namun dia tidak lapar sepertinya. Aku kembali tertidur. Hingga pagi tiba. Kulihat bayi kecilku, mengapa dia tumben tidak menangis meminta minum  asi. Kuangkat tubuhnya, dia lemas sekali. Aku bingung. Taklama kemudian suamiku datang dan menanyakan mengapa aku  menangis dan seperti kebingungan.

“Mas, dede mas, dia lemas sekali,”kataku sambil menangis. Suamiku langsung masuk ke kamar dan melihat Dede Faiqa.

“Suamiku langsung memanggil petugas kesehatan dan meminta tolong Bamin memanggil Mak Yayah. Tak lama kemudian petugas kesehatan mengecek kondisi Dede Faiqa, begitupun dengan Mak Yayah. Dan mereka mengusulkan agar kami segera membawanya ke rumah sakit.

Sambil bersiap-siap aku perhatikan terus anakku, dan tiba-tiba dia mengerang seperti kesakitan, tubuhnya membiru dan kejang. Aku teriak sambil menangis.

“Maaaaaas,….dede mas, “teriakku histeris.

Suamiku  yang sedang mengobrol dengan Bamin berlari ke kamar dan memanggil ambulan agar segera datang. Ambulanpun datang dan kami bersiap ke rumah sakit. Anakku yang dua kembali ditinggalkan dan dititipkan ke tetangga.

Sesampai di rumah sakit, anakku langsung di bawa ke IGD, dan ditangani oleh dokter. Tangannya di infus dan diberi pipa oksigen ke hidungnya. Aku tak tega melihatnya. Gadis kecilku yang putih dan montok, kini terbaring kesakitan, sementara aku tak tahu apa yang  harus aku lakukan, dan apa yang telah terjadi padanya. Aku hanya bisa menangis saja.

Beberapa saat kemudian,  Alhamdulillah dia sudah terlihat tenang. Petugas kesehatan dari Batalyon 303 menanyakan kondisi anakku.

“Bu, bagaimana keadaannya? Apa perlu dirujuk ke Dustira Bandung,”Tanya Om Iman.

“Kata Dokter sudah bisa ditangani dan sebentar lagi masuk ruangan, sekarang lagi disiapkan, Jawabku.

“Syukurlah,  kalau begitu kami pulang dulu yah bu, Dan, “Kata Om Rudi, supir ambulan

Tak berapa lama kemudian, suster bilang jika ruangan sudah siap dan kami bisa pindah ke kamar. Kamipun bergegas ke kamar. Setelah pindah ke kamar, aku mulai tenang dan ijin ke suamiku ingin mandi dulu karena dari pagi belum mandi.

“Mas, jagain dede yah, saya mandi dulu,”ucapku.

‘Iya,”jawab suamiku.

Selesai mandi kusuruh suamiku sholat jumat, tapi dia bilang ingin di sini saja. Biar sholat di sini saja. Aku baru teringat jika aku tidak membawa pembalut, tissue dan perlengkapan  lainnya. Setelah suamiku sholat, aku minta tolong dia belanja dulu ke supermarket.

Pergilah suamiku ke supermarket sekalian membeli makan siang. Karena lapar dari pagi tidak sempat makan dulu. Saat suamiku tidak ada, aku bersih-bersih kamar, dan tiba-tiba ada petugas kesehatan yang datang dan mau menyuntik anakku, tapi katanya harus di tes dulu suntikannya takut alergi, dan tangan yang telah disuntiknya itu diberi tanda lingkaran. Aku menurut saja.

Tak lama kemudian, anakku kejang lagi. Aku kaget sekali, sementara suamikupun takada, bagaimana ini. Aku berlari sekencang-kencangnya ke ruang IGD sambil membawa anakku yang membiru dan kejang. Luka bekas  melahirkan tak kurasakan, orang-orang yang melihatkupun tak aku perhatikan. Aku hanya ingin agar anakku segera ditolong.

Namun sayang, ternyata dokter jaga hari itu sedang keluar menjemput anaknya sekolah. Lalu bagaimana dengan anakku yang sedang kritis, yang dia bilang tadi sudah stabil keadaannya.

Anakku kembali diperiksa, denyut jantungnya mulai melemah dan di tempelkan alat penghentak jantung, aku sudah berteriak-teriak ketika suamiku datang, Diapun kaget, mengapa sampai terjadi demikian. Berulang kali alat penghentak jantung  itu dicoba ditempelkan di dada anakku. Namun takdir berkata lain, ku lihat jari-jari  kaki anakku ada gerakan biru yang berjalan merayapi kakinya, pahanya, badannya dan terakhir detak jantungnya,……dan tuuuuut ……..bunyi alat pengecek detak jantung, yang menandakan jika jantung anakku berhenti.

Suamiku yang sedang mengaji terus mengaji semakin keras, menahan tangis. Aku terpaku di samping anakku yang sedang diambil ruhnya oleh yang maha kuasa. Ku terduduk lemas, takada kata yang bisa kuucapkan selain airmata yang terus berderai.

Anakku buah hatiku, walau kau telah tiada, akan tetapi kenangan indah bersamamu akan terus terkenang di hati ayah  ibu dan kakak-kakakmu. Semoga kamu bahagia di alam sana bersama sang kuasa yang lebih mencintai dan menyayangimu.

Suamiku langsung memberitahu Bamin di kantornya, keluarga dan ambulan. Baminpun datang bersama ustadz ujang, anakku langsung dimandikan dan dikafani. Aku masih diam terpaku dalam kesakitan hati yang begitu dalam. Anakku, kamu benar-benar ditemani papahmu dari mulai hamil,lahir hingga meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fiorentia viviane lesmana