Pengikut

Sabtu, 05 Maret 2022

SELF HEALING

 

KUMPARAN RASA MENYATU DALAM KATA

Oleh Lilis Ernawati

 

Andai Tuhan jadikan  kau sajadah, di sinilah aku bersujud, andai Tuhan jadikan  kau Ibu, di sinilah aku mengadu. Andai Tuhan jadikan kau laut, di sinilah aku berteriak, andai Tuhan jadikan kau cahaya, bersamamu aku ceria  dan andai Tuhan jadikan kau saputangan, maka kaulah yang akan menghapus air mataku. 

Semua luka, semua bahagia, semua resah dan kegalauan tertumpah ruah dalam kata. Hanya ini yang aku bisa. Selain sajadah, engkaulah tempatku mencurahkan semua rasa. Selain Ibu engkaulah tempatku mengadu. Selain laut, engkaulah tempatku berteriak. Selain cahaya, engkaulah yang memberiku terang. Selain saputangan, engkaulah yang menghapus tetesan airmataku.


Petualanganku berawal dari sini. Adakah yang sama denganku ?

Menulis luar biasa pengaruhnya bagi hidupku. Karena dengan menulis aku merasa hidupku terasa ringan. Maafkan aku lembaran putih, karena telah kuserahkan semua beban hidupku padamu. Terimakasih lembaran putih, karenamu bahagiaku terungkap lewat kata dan tulisan.

Aku terpuruk dalam luka yang begitu dalam, kugoreskan kata demi kata mengikuti irama hati yang terus mengalunkan nada-nadanya dengan penuh perasaan. Semakin lama, lembaran putih tanpa makna semakin penuh dengan kata yang bersahaja. Takada malu, takada sungkan, kugoreskan terus satu demi satu hurup-hurup yang tak bermakna merangkai sebuah cerita yang tak berkesudahan.

Resahku, membuatku kalang kabut, terduduk diam tak menentu, beraktivitas  tak jelas yang dituju, bersenandung  namun tak merdu. Dalam resah otakku seakan semrawut dan ubun-ubunku bergolak menuju satu titik yang sulit untuk dipecahkan. Kutekan tuts demi tuts keyboard laptopku. Kutulis semua yang kumau sesuai isi kepalaku. Tak pernah kurencanakan apa dan bagaimana akhir kelelahanku menekan tuts-tuts ini. Yang kuingin sekedar menumpahkan resah dan gelisahku di sini.

Menulis adalah sarana balas dendamku menumpahkan semua kegalauan yang kurasakan kini. Melalui media laptop kuungkapkan semuanya, akan tetapi kamu hanya diam, laptop.  Tak berkutik apalagi melawan, saat aku tekan dengan cepat dan kencang setiap hurup yang menutupi tubuhmu.

Aku bahagia saat semua rasa tercurah di sana, entah bagaimana dengan dirimu, aku tak perduli, yang penting aku bisa merangkai kata membuang semua resah dan gelisahku  tanpa mengorbankan orang-orang di sekelilingku.

Satu demi satu sandiwara  kehidupan kuungkap dalam cerita. Lakon penuh kenangan kutuliskan tanpa terasa. Semua catatan penaku kuisi dengan ruh-ruh penuh makna agar menjadi kenangan di suatu masa saat aku tiada. Semua kerinduanku dan kerinduanmu menyatu dalam surat cinta yang penuh makna. Menulis, adalah obat jiwa di saat luka, menulis adalah obat kalbu dikala rindu, menulis adalah obat rasa dikala ceria.

Walau ada sosok ibu tempatku mengadu, akan tetapi tak mungkin semua risau, semua luka dan kepahitan hidupku ku ceritakan padanya. Aku ingin dia tahu, anaknya bahagia dalam limpahan cinta yang luar biasa. Aku ingin dia tahu, anaknya tertawa mengecap manisnya candu bahagia kehidupan yang fana. Biarlah luka hati ini, kusimpan dalam goresan kata, biarlah risau rasa ini terbuncah dalam ketukan jari-jari yang mengerti tanda, yang harus ibuku tahu hanya tawa dan ceria yang tergambar dalam wajah bahagia.

Satu masa saat cinta terkhianati, aku terpuruk dalam luka hati yang tak berkesudahan, hanya goresan pena yang terbuncahkan dalam dinding-dinding yang tak berdosa. Kujadikan tembok bisu sebagai pelampiasan jiwa, kugoreskan kata demi kata, ungkapan rasa yang terluka. Takada yang mengerti bagaimana jatuh bangunnya aku membangun kepercayaan diri selain ungkapan kata dalam tembok bata dan  lembaran suci yang kini telah hilang bersama bongkahan istana masa laluku,  bersama lembaran kisah pilu di masa itu.

Dulu lembaran suci itu saksi bisu kebahagiaanku bersamamu, saksi resah kerinduanku kepadamu, saksi pilu kesedihanku bersamamu, dan saksi luka pengkhiatanmu kepadaku. Namun kini semua itu telah lenyap ditelan lembaran baru penuh dengan rindu bersama jodohku. Aku di sini kini telah melupakanmu, walau lembaran luka itu masih teronggok di sudut kalbuku, Namun aku berusaha untuk membuangnya ke tempat yang seharusnya. Walaupun itu berat.

Bagaimana tidak, antara benci dan cinta seakan tak terhalang oleh masa. Kamu yang telah meninggalkanku di pelaminan bahagiamu tanggal 7 April,  menjadi tanggal yang menyakitkan hatiku. Namun di sisi lain, suamiku berkelahiran dengan tanggal yang sama yaitu 7 April. Bagaimana aku bisa melupakan tanggal tersebut. Tanggal yang telah Allah tuliskan untuk orang pertama yang hadir di relung hatiku,  yang telah menyakitiku dan orang terakhir  yang membahagiakanku hingga kini dan hingga surganya nanti. Amin yra

Goresan pena takada hentinya melukiskan semua rasaku, banyak keajaiban Tuhan yang kutuliskan melalui jemariku, … terlalu banyak,  hingga aku tak kuasa menuliskannya satu persatu, selain rasa syukur yang kuungkapkan lewat sujudku, menerima berkah-Mu yang memberiku kuasa tuk menuliskan semua rasa dalam ayunan pena yang tak bosan mengukirkan kata.

Suatu senja kala pertama kubertemu denganmu, takpernah ada rasa yang tertanam dalam jiwa. Hanya tatapan penuh makna menyiratkan rahasia sang kuasa hingga menyatukan dua insan dalam balutan asrama. Melalui goresan pena, kau ungkap rasa, walau aku tak berdaya, akan tetapi kuberusaha tuk tetap membalasnya. Menulis menjadi aktivitasku yang tiada membosankan. Karena mendapat kabarmu adalah suatu kebahagiaan.

Tulisan demi tulisan yang menjadikan kenangan perjalanan cinta kita di masa muda menjadi sejarah di hari tua. Karena tulisan itulah candu cinta dan asmara semakin hari semakin erat mendekap rasa takterpisahkan. Aku dan kamu dalam balutan cinta penuh makna dalam rangkaian kata yang tertuliskan dalam lembaran suci dan gawai asmara.

25 tahun sudah perjalananku bersamamu, dalam suka dan duka. Terbayang, jika harus dibukukan, berapa buku yang bisa aku tuliskan untuk mengungkap semua lakon asmara kita berdua. Namun semua itu terukir indah dalam kumparan rasa yang terus kita olah dalam kata yang bermakna, hingga kini.  Walau hanya lewat gawai asmara.

Terbayang selalu, saat dulu kau bertugas di perbatasan bumi pertiwi ini, hari-hari yang kau dan aku nanti adalah surat cinta ungkapan rasa, luapan rindu yang bergelora. Kau ungkap semua rasa dalam kata-kata yang bermakna tanpa ada dinding pembatas rasa, kau buang rasa malumu, kau buang rasa sungkanmu, kau ungkap semua rindumu yang membuatku semakin mabuk cinta.

Akupun sama, sepertimu, kuungkap semua rasa lewat goresan pena yang terus berbalas setiap minggu, takada bosan, takada lelah. Kuterus menantimu disela-sela doaku yang selalu kupanjatkan agar selalu dalam lindungan Sang Kuasa.

Kebahagiaan menerima surat cintamu, melebihi bahagianya aku di tanggal muda saat menggesek ATM gajimu. Ternyata tulisanmu, adalah gairah hidupku. Ku dekap erat surat cintamu, serasa kau yang ada dalam pelukanku.

Terimakasih Tuhan, karena berkahmu memberikan aku dan suamiku kemampuan tuk menulis, rasa rindu kami bisa terlampiaskan, karena goresan pena itu pula, rasa cinta kami, tidak sekedar nafsu belaka, akan tetapi selalu ada untaian doa disetiap surat cinta agar segera dipertemukan lagi.

Aku di sini tetap menanti tulisanmu walau kini tidak melalui lembaran suci lagi, aku di sini tetap menanti kehadiranmu  melalui gawai cinta yang selalu berdering, walau hanya sekedar bertanya, sedang apa? Kamu yang di sana tetap kurindu disetiap waktu, kamu yang di sana menjadi sebuah cerita dalam goresan penaku. Kutetap menantimu disetiap lengangmu, kutahu harapku dan harapmu bisa terus bersatu, akan tetapi kita memiliki tanggung jawab melaksanakan tugas kita mencari nafkah untuk anak-anak kita Tugasmu melaksanakan tugas Negara, sebagai abdi bangsa tak menghalangi kita tuk selalu bercerita dalam tulisan gawai asmara.

Semoga lelahmu menjadi barokah untuk kita semua. Biarlah goresan pena ini menjadi kisah yang takakan hilang ditelan jaman, yang tak akan musnah terkikis waktu.

Menulis adalah  ungkapan kepenasaranku tentang takdir Tuhan yang penuh dengan tabir rahasia, di mana aku dan kamu memang telah dipersatukan sejak dalam buaian. Banyak hal yang  tak kumengerti tentang suatu pertanda yang telah tergoreskan sejak dini. Dia yang kini menjadi pendampingku seorang abdi negara ber nrp 2910120030471. Nomor itu telah ada sejak dia disahkan menjadi prajurit, sebelum aku mengenalnya dan diapun begitu adanya. Tulisan angka itu ternyata menguak sebuah kisah yang suatu hari menyatukan kami dalam balutan asmara dihadapan illahi.

2910 adalah tanggal di mana kamu memberanikan diri memintaku pada ibuku setelah kami dengan tanpa sengaja di pagi itu berniat untuk saling menerima, mencintai dan melindungi serta menitipkan diri kami dalam ikatan cinta sejati. 12003 jika dibalik adalah tanggal lahirku, 3 desember dan 0471 adalah tanggal lahirmu. Ini bukan suatu kebetulan. Namun ini sudah takdir Tuhan. Yang telah digariskan dalam tulisan buku harianku dan harianmu.

Menulis adalah caraku menghabiskan waktu dan mengirit isi saku di masa pandemic covid 19 ini. Karena menulis, aku kadang lupa jika harus memburu diskonan yang sedang ada di supermarket. Karena menulis aku kadang malas, jika harus sekedar menggosip dengan tetanggaku dan karena menulis aku menjadi semakin berbobot akibat makanan ringan yang harus selalu tersedia di sampingku saat menulis. He…he…

Menulis membuatku benar-benar hanyut dalam ruh imajinasi yang tiada henti. Aku terhanyut dalam masa laluku yang seakan menggelayuti dan aku semakin  terbuai dalam kumparan kata yang penuh arti.

Dari menulis aku banyak mimpi, dan dari menulis aku ingin berbagi semua ilmu yang kumiliki agar bisa berarti di masa nanti.

Harapan itu semakin abadi saat Allah pertemukan dengan grup menulis PGRI bersama Om Jay sang motivator sejati dan kawan-kawan para penulis yang berambisi mengisi hari agar tak habis di telan sunyi.

Menulis membuatku mengerti, jika tak semua hal bisa kita mengerti. Menulis membuatku tahu jika imajinasi bisa menjadi bukti diri, Selamat menulis, semoga bermanfaat dan menjadi terapi diri agar semakin bijaksana dalam meniti hidup ini.

 

 

Kamis, 03 Maret 2022

AISEI




Pada webinar kali ini Ibu Capri seperti biasa selalu setia mendampingi acara AISEI. Dan pertemuan kali ini pula, Ibu Rita sebagai guru Inspiratif diminta untuk menceritakan apa manfaatnya setelah menulis. Menurut Ibu Rita dengan menulis dan gabung komunitas, beliau merasa menjadi orang yang luar biasa, karena banyak dikenal orang, 

Menurut Ibu Rita, banyak suka duka diawal pembuatan buku, ada rasa kurang pede, apalagi saat akan membuat buku kurikulum ngumpet. Namun dari situ, saya mulai coba-coba memberanikan diri ikut lomba-lomba. Memang tidak langsung dapat juara, akan tetapi Ibu Rita terus berusaha hingga akhirnya bisa menjadi juara. Inilah awal mulai rasa pede untuk terus menulis. Hingga akhirnya bisa naik kelas dan menjadi narasumber.
 Ibu Rita benar-benar dari nol bisa menulis, akan tetapi tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikuti tantangan demi tantangan. Hingga benar-benar bisa dan sanggup memiliki beberapa buku hasil karya sendiri berkat bergabung komunitas menulis dan AISEI. 
Benar-benar from zero to hero. Segala sesuatu memang membutuhkan keinginan, kepercayaan diri, dan terus belajar tanpa bosan dan lelah sebagai proses yang harus dilewati untuk mencapai sebuah puncak yang luar biasa.

Selanjutnya mbak Dahlia menjelaskan tentang AISEI

Apa itu AISEI?

Aisei adalah komunitas pendidik Indonesia yang berdiri sejak 19 Januari 2019. AISEI kepanjangan dari The Association of International-minded School Education  for Indonesia.

Sebuah komunitas pendidik di Indonesia yang memiliki misi memperbaiki system pendidikan di Indonesia mulai dari akar permasalahannya, memperkenalkan system pendidikan asing, meningkatkan profesionalisme serta mengembangkan kompetensi pendidik.

 

Anggota AISEI

Dengan tagline Nurturing Progressive and Transformational Educators for Future Indonesai, AISEI berkeinginan menjadi komunitas yang terus berkembang dan memastikan semua anggotanya dapat menjadi pembelajar seumur hidup, selalu ingin berbagi, selalu menginspirasi dan menulis untuk meninggalkan warisan ilmunya.

Anggota AISEI terdiri dari

1.      Guru sekolah swasta/nasional

2.      Guru privat

3.      Orangtua

4.      Pengamat Pendidikan

5.      Konsultan Pendidikan

6.      Dosen

 

VISI dan MISI

1.      VISI

·         Terwujudnya organisasi pendidik yang terbaik dan terdepan di Indonesia dan diakui kontribusinya oleh masyarakat Indonesia dan dunia

2.      MISI

·         Memajukan pendidikan nasional

·         Memperkenalkan system pendidikan asing

·         Meningkatkan profesionalitas pendidik

·         Meningkatkan kompetensi pendidik

 

MANAGEMENT  TEAM

1.    Dr. Capri Anjaya, S.Pd., M.Hum

Founder AISEI, Konsultan Pendidikan

2.    Sri Rahayu, SH, LL.M

CoFounder AISEI, Pengacara

3.    Ir. Dewi D. Lukitasari, M.Pd

Kepala Sekolah SPK Cita Buana

4.    Melany Kusumawati, S.Pd., M.S. (Tangerang/Banten)

HOS (Head of School) & Kepala Sekolah SPK Harapan Bangsa

5.    Andri Nurcahyani, S.Pd., M.S.

Kepala Sekolah SPK Bogor Raya

6.    Angela Naning Purwaningsih, M.Pd

HR & Finance Director of  PT Jixanindo Prima Consulting (JPC)

7.    Sunarto, S.Pd

Director Utama PT Jixanindo Prima Consulting (JPC)

8.    Gina Yoviana, S.Hum. (DKI Jakarta)

Pendidik SPK ACS Jakarta

9.    Herman Sutanto

Konsultan Teknologi  Informasi

10.              Amadea Sitorus, S.SSc. (Bali)

Pemerhati Pendidikan

11.              Dian Ariadita F,S.I.Kom., M.Pd

K-Link Care Center Indonesia (Specialis Need Centre)

12.              Dadan, M.Pd (Jawa Barat/Bandung)

Founder Kelas Kreatif Pendidik SPK Bandung Independen School

 

4 Pillars of AISEI

1.      Pendidik belajar (life long learning)

2.      Pendidik berbagi (sharing to the community)

3.      Pendidik Menginspirasi (inspiring others to be mindful)

4.      Pendidik Menulis (Writing your legacy)

 

Bagaimana Cara Daftar AISEI

1.      Buka www.aisei.id




2.      Sign up




3.      Register




4.      Accept




5.      Check Email



Kegiatan AISEI antara lain adalah 
  1. Pendidik belajar antara lain Online workshop for educators, kolaborasi bersama PSSDM
  2. pendidik berbagi sharing for community kolaborasi bersama ICEI
  3. Pendidik Menginspirasi (Inspiring others to mindful) kegiatan talkshow setiap bulannya  dan Inspiraction dengan narasumber-narasumber luar biasa
  4. Pendidik menulis bersama om jay  (writing your legacy)

Selanjutnya acara diisi oleh Pak Kartino, M.Pd. Dengan tema : Menulislah Walau Sedikit.
Beliau adalah Pengawas SMP yang sebelumnya sebagai guru bahasa inggris.

Pak Kartino begitu semangat dalam memperkenalkan literasi di daerahnya hingga menciptakan lagu dan pakaian khusus sebagai kapten literasi yang gagah dan luar biasa. Perjuangannya dalam memajukan literasi anak bangsa benar-benar luar biasa.

Sosok Pak Kartino yang tetap merendah, walaupun sudah banyak hasil karya menulis yang dihasilkannya. 
Menurut beliau menulislah walau sedikit. Curahkan isi hati sesuai yang dialami. Awalnya ada tantangan menulis dengan deadline terbatas. Dari situlah mulai memberanikan diri menulis. Mulailah menulis dari apa yang ada di sekitar kita, dari pengalaman kita. Buku pertama Pak Kartino berjudul Dua satu, karena terlahir di tanggal 21 April pas tanggal Ibu Kartini lahir, dibantu lahir oleh Ibu Kartini, sekarang tinggal di Jl Kartini, sehingga angka 21 selalu mengikuti Pak Kartino. Oleh karena itu mulailah menulis hingga selesai. Karena jika kita tak menulis  maka kita tidak akan mungkin bisa menjadi tokoh faforit kita. 

Pak Kartino lebih konsen kepada buku anak-anak. Namun beliau tidak menjualnya secara bebas. jadi beliau memproduksi sesuai pesanan saja.
Jangan takut menulis bagi pemula karena nanti ada editor yang siap membantu memperbaiki tulisan kita.
Pak Kartino memiliki ide sebagai Kapten Literasi, awalnya diawali menjadi tim narasumber yang harus memakai kostum sesuai karakter favorit. Pak Kartino terinspirasi oleh tokoh Kapten Avenger sebagai Kapten Amerika yang sangat di favoritkan oleh anak-anak.



KOLABORASI KREATIF INDONESIA KOREA Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil

 




Penulis : Moon Changgil

Penerjemah : Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah

Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta 2021

Tebal : 116 + 12 hal

Kepopuleran hiburan dari negara Korea saat ini telah merebak hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak hanya lagu-lagu dari boyband dan girlband yang merajai chart tangga musik di mana-mana, tetapi juga drama-drama Korea yang ditonton dan diminati oleh seluruh kalangan. Drama Korea banyak diminati oleh para penggemar karena memiliki alur cerita yang menarik dan dapat membuat penonton untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan oleh para aktor dan aktrisnya. Kebanyakan, tema yang diangkat dalam cerita drama Korea adalah percintaan, persahabatan, pengkhianatan, bahkan menghadirkan banyak genre seperti thriller, action, dan lain-lainnya.


Drama Korea semakin digandrungi karena merasa menemukan pasangan idamannya melalui penokohan yang dihadirkan, bahkan dapat menginspirasi para penonton dari perjalanan hidup tokoh yang di dalam drama. Cerita dalam drama Korea seakan-akan selalu menjanjikan akhir yang bahagia, melalui perjuangan si tokoh utama yang harus menghadapi konflik bertubi-tubi untuk dapat menemukan kebahagiaan tersebut.

Namun nyatanya, Korea tidak selamanya memiliki kehangatan dan keindahan seperti yang ditayangkan dalam drama Korea. Realitanya, tidak semua kehidupan dapat dijalani dengan mudah dan mulus. Hal ini yang juga digambarkan oleh Moon Changgil dalam kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api. Tema utama dalam kumpulan puisi ini adalah potret kehidupan masyarakat awam, kehidupan pekerja harian, dan kehidupan kaum miskin yang terjadi di Korea.

Moon Changgil merupakan penyair dari Korea Selatan angkatan ’80-an yang juga memimpin beberapa media dan berpartisipasi dalam organisasi sastra di Korea, salah satunya adalah Changjak21. Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" karya Moon Changgil ini berhasil meraih dana kreasi karya Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea. Karya-karya Moon Changgil lainnya yaitu "Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bukguk Dokrip Seoshin)", juga puisinya yang terbit dalam antologi bersama dengan judul "Puisi Dure (Duresi Dongin)" dan "Di Ujung Mata Ikan (Mulkogi Kyotnun Soke Deun)".

Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo berperan sebagai penyambung bahasa Indonesia. Ia juga telah menerjemahkan beberapa buku bahasa Korea ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, seperti kumpulan puisi "Orang Suci, Pohon Kelapa" karya Choi Jun dan "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" karya Pramoedya Ananta Toer.


Nenden Lilis Aisyah merupakan penulis dan penyair Indonesia yang telah memiliki banyak karya, seperti sajak, cerpen, resensi, dan esai yang telah dimuat di berbagai media massa nasional maupun internasional. Selain disibukkan dengan undangan untuk menjadi pembicara dan membacakan karya-karyanya di kegiatan sastra yang diadakan di beberapa negara, Nenden Lilis Aisyah juga bergiat dalam menerjemahkan karya sastra dari mancanegara.

Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan rel Kereta Api" ini pun tak jauh dari peran Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah yang bekerjasama untuk menerjemahkan puisi-puisi Moon Changgil. Melalui penerjemahan karya ini, Nenden Lilis Aisyah meneruskan tujuan Moon Changgil untuk mengukuhkan perdamaian, hak asasi manusia, lingkungan, dan penyadaran atas masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar kita.


Puisi-puisi Moon Changgil berjumlah 58 puisi yang dibagi menjadi 4 rangkuman berdasarkan dominasi tema dan bentuk puisi di dalamnya. Puisi-puisi dalam rangkuman 1 didominasi oleh puisi yang memiliki tema kehidupan masyarakat pinggiran dan miskin di Korea. Nasib para pekerja kecil seperti nelayan, buruh pabrik, pengedar surat kabar, dan lain-lainnya harus menjalani kehidupan yang memprihatinkan, keras, dan getir, namun mereka masih memiliki harapan untuk tetap hidup.

Penyair menggambarkan nasib para pekerja kecil ini dengan menggunakan sudut pandang pertama. Namun ada pula yang digambarkan dengan tokoh yang diberi nama, seperti Tuan Hwang, Tuan Ju, Bapak Gilyong, Ibu Yeonhee, Bibi Song, Paman Kim, Paman Seok, Sooki, Park Daljae, dan lain-lain. Ada juga tokoh tanpa nama yang hanya ditulis sebagai istri, anak, atau ayah. Beberapa puisi juga menyebutkan tempat-tempat yang berada di Korea, seperti Samyang-dong dalam puisi “Penduduk di Samyang-dong”, Bangojin dalam puisi “Di Dermaga Bangojin”, Ahnyang dan Kyongsang-do dalam puisi “Wanita dari Ahnyang”, Singok-ri dalam puisi “Malja di Singok-ri”, dan Todang-ri dalam puisi “Tuan Hwang di Todang-ri”.


Meskipun hidup sebagai pekerja kecil, akan tetapi  para tokoh dalam puisi-puisi bagian rangkuman 1 digambarkan memiliki kebahagiaan kecil dari keluarganya, atau pun masyarakat di lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya tergambar pada puisi “Ayahku”. Puisi ini ditulis dari sudut pandang seorang anak yang mengagumi kerja keras ayahnya yang rela bekerja apa saja demi menyambung kehidupan keluarganya. Ayahnya bekerja sebagai tukang las, penjual permen, pengedar surat kabar, buruh pabrik, dan tukang gali lubang irigasi. Berikut merupakan kutipannya.

Ketika usianya hampir 30 tahun / ayahku baru bertemu dengan ibuku. // Pria polos yang menjual permen tiga tahun / mengedar surat kabar tiga tahun / bekerja sebagai tukang penggali lubang irigasi tiga tahun / dan menghadapi berbagai kesulitan duniawi itu / jatuh cinta pada Ibu yang cantik. // Ketika Ayah pergi ke pabrik setiap pagi / sambil menegakkan bahu yang miring / kami, istri dan anak perempuan yang tersayang / mendoakan keselamatannya hari itu / sambil melambai-lambai tangan kecil tanda selamat jalan. // (hlm. 14).


Pekerja lainnya seperti nelayan, tergambar dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” dan “Wanita dari Ahnyang”. Nelayan dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” digambarkan bagaimana perjuangan seorang nelayan yang harus berlayar untuk menangkap ikan dan harus terbiasa dengan sendi-sendiri yang sakit, angin laut, serta bau amis dari ikan yang menusuk. Sedangkan puisi “Wanita dari Ahnyang” menceritakan seorang wanita penjual ikan di Bangojin yang memiliki cita-cita untuk membahagiakan anak-anaknya dengan menyekolahkan anak laki-lakinya hingga universitas dan membelikan piano untuk anak perempuannya.

Pekerja-pekerja kecil lain seperti kehidupan para petani dapat dilihat pada puisi “Malja di Singok-ri”. Sedangkan pekerja buruh pabrik dan pekerja serabutan lainnya dapat dilihat pada puisi “Anak Perempuan yang Cerah”, “Pemandangan Gedung Koperasi”, “Abang K di Pabrik Eletronik”, “Rumput Liar di Atas Aspal”, dan “Tuan Ju, Penduduk Daerah Khusus”. Buruh pabrik dan pekerja serabutan dalam puisi-puisi Moon Changgil digambarkan dengan perjuangan para tokohnya yang berjuang dan bekerja keras untuk dapat melewati kepahitan hidup yang harus mereka terima tanpa harapan atau pun masa depan yang gemilang. Salah satunya diakibatkan oleh kemiskinan yang harus mereka atasi sendiri, seperti yang dideskripsikan dalam puisi “Abang K di Pabrik Elektronik” yang harus puas dengan pendidikannya hingga jenjang SMP dan bekerja sebagai teknisi elektronik. Abang K dalam puisi ini tidak bisa—dan tidak mampu—untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena keterbatasan ekonomi, sehingga ia akhirnya merantau ke kota Seoul.


Tak hanya kemalangan dan kemiskinan yang menimpa nasib mereka, namun kepedihan juga menghantui kisah percintaan dalam puisi-puisi Moon Changgil, seperti yang tergambar dalam puisi “Tuan Hwang di Todang-ri 1”, “Tuan Hwang di Todang-ri 2”, dan “Tuan Hwang di Todang-ri 3”. Tuan Hwang harus rela kehilangan anaknya, Sunjeong, yang diadopsi oleh orang asing dari Denmark. Ia juga harus kehilangan nyawa seorang istri, Nona Han, hingga menumbuhkan kesedihan dan penyesalan dalam diri Tuan Hwang.

Di balik kesedihan dan kesulitan yang harus mereka hadapi, Moon Changgil menyisipkan sebuah kebahagiaan serta semangat juang di dalam puisi-puisinya. Bagi rakyat kecil seperti tokoh-tokoh dalam puisi, kebahagiaan dapat diraih dengan sederhana, seperti melalui senyum yang terpancar dari anak perempuannya yang mampu menghangatkan hati seorang ayah dalam puisi “Anak Perempuan yang Cerah”. Atau juga semangat yang mengalir dalam darah seorang kuli bangunan untuk terus bekerja demi menghidupi istri tercintanya. Melalui puisi-puisi dalam bagian rangkuman 1 ini, kita dapat melihat bagaimana para pekerja kecil yang memiliki keterbatasan namun tetap memiliki keinginan untuk terus melanjutkan hidupnya.


Rangkuman 2 dalam buku kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" didominasi oleh tema sejarah Korea, terutama ketika perang berlangsung. Dalam puisi-puisi di bagian kedua ini, Moon Changgil mendeskripsikan bagaimana kesengsaraan rakyat serta kekejaman dari militer Amerika Serikat kepada rakyat Korea. Selain itu, Moon Changgil juga mengungkapkan kerinduannya terhadap penyatuan dua Korea (unifikasi) yang tergambar dalam beberapa puisi.

Kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Korea tergambarkan dalam puisi berjudul “Masa Perlawanan” di mana banyak tentara yang keberadaannya tidak diketahui pada akhir Perang Korea. Juga puisi “Buku Catatan Putih” dan “Fajar untuk Genting Biru” yang melukiskan bagaimana perang-perang yang terjadi di Korea menghancurkan kota-kota dan menggugurkan ribuan nyawa.

Kerinduan unifikasi antara dua Korea, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara tergambar pada puisi “Di Stasiun Wojeong-ri”, “Kembang Unifikasi”, dan “Kita adalah Satu”. Gencatan senjata yang terjadi ini diawali dari pemisahan Korea Utara dan Korea Selatan oleh garis paralel ke-38 yang melintasi Semenanjung Korea. Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il Sung menganut paham sosialis yang didukung oleh Uni Soviet, sedangkan Korea Utara yang dipimpin oleh Syngman Rhee yang menganut ideologi kapitalis didukung oleh Amerika Serikat. Pada 25 Juni 1950, sebanyak 75.000 tentara Korea Utara turun untuk melintasi batas paralel ke-38 tersebut. Di bulan berikutnya, pasukan Amerika Serikat akhirnya turun ke medan peran untuk mendukung Korea Selatan untuk memerangi komunisme. Pada dasarnya, rakyat Korea tidak menginginkan pemisahan tanah air mereka. Akibat dari pemisahan dan perang yang terjadi, puluhan juta keluarga di Korea terpaksa harus terpisah.


Dalam Perang Korea yang terjadi saat itu, militer Amerika Serikat juga melalukan kekejaman terhadap rakyat Korea, salah satunya adalah pelecehan seksual terhadap gadis-gadis Korea yang digambarkan melalui puisi “Gadis Geumchon 1”, “Gadis Geumchon 2”, dan “Oh, Hari Itu”. Moon Changgil dengan eksplisit menyebutkan Tentara Yankee, sebutan untuk tentara Amerika Serikat dengan konotasi mengejek, mereka memerkosa hingga berkali-kali, bahkan disebutkan bahwa penyakit kanker rahim telah dianggap penyakit musiman. Penyair menumpahkan amarahnya, mewakili gadis tak bersalah yang harus menerima kekejaman tentara Amerika Serikat. Berikut merupakan kutipan dalam puisi “Gadis Geumchon 2”.

Wahai orang-orang dari negeri raksasa / yang punya barang besar / demi memuaskan bagian bawah kalian / tubuh ini membusuk. // Meski hancur ribuan kali / meski menjadi putri / yang tidak setia pada negara / aku tetap ingin hidup / untuk memeluk dada pemuda Goryeo / yang sepanas cabai merah dan membara. // (hlm. 40).


Dalam rangkuman bagian kedua ini, Moon Changgil melalui puisi-puisinya mengungkapkan kemarahan, kerinduan, dan kepedihan terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di Korea. Pemilihan kata yang digunakan oleh Moon Changgil pun terkesan lugas dan to the point. Dengan jelas tergambar bagaimana kekejaman masa lalu yang terjadi ketika Perang Korea dapat meruntuhkan dan menggugurkan para rakyatnya akibat kekejian para tentara.

Selanjutnya, bagian rangkuman 3 dan rangkuman 4 didominasi oleh tema sosial-politik, yang menghadirkan emosi individual dengan imajinasi penyair. Puisi-puisi yang ditulis dalam bagian ini menggambarkan rasa cinta, keputusasaan, kerinduan, nafsu, religius, lingkungan alam, dan norma hidup.

Beberapa puisi dalam bagian ketiga dan keempat ditulis dengan bentuk naratif dengan kalimat-kalimat yang disambungkan dan disatukan, sehingga satu puisi hanya terdapat satu kalimat panjang tanpa dibubuhkan tanda baca sama sekali. Contohnya terdapat pada puisi “Bunga Trompet 1”, “Di Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 1”, “Di Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 2”, “Benteng”, “Dalam Gelap”, dan “Bayangan”.


Di bawah naungan pohon kastanye satu dua kumbang tertidur mimpi-mimpiku yang penuh semangat keluar dari tubuh bagaikan ombak lalu lenyap mimpi itu runtuh di kedalaman yang tak berujung menjadi mimpi purba lalu sebuah benteng bangkit sebesar keruntuhannya. (hlm. 68).

Puisi berjudul “Benteng” di atas ditulis dengan satu kalimat panjang tanpa putus hingga puisinya selesai. Meskipun hanya terdiri dari satu kalimat, tapi dapat dipahami bahwa puisi ini menceritakan tentang mimpi yang runtuh dalam waktu singkat hingga menghancurkan harapan si aku-lirik. Namun, kehancuran dan keruntuhan tersebut justru menjadikan aku-lirik membangkitkan kembali semangat juang untuk menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.

Buku kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini sangat direkomendasikan bagi yang ingin melihat sisi lain dari Korea, terlepas dari hiburan pop yang saat ini sedang mendunia. Kita akan melihat bagaimana pekerja-pekerja kecil di Korea yang harus bekerja keras demi menyambung kehidupannya, juga sejarah-sejarah lama Korea yang juga ikut diangkat sebagai bentuk pemahaman isu sosial dan politik yang digambarkan melalui puisi-puisinya. Nenden Lilis Aisyah dan Kim Young Soo, melalui terjemahannya juga berhasil memperkenalkan karya sastra Korea kepada pembaca di Indonesia. Kini, karya ciptaan Moon Changgil telah terdengar hingga ke penjuru Indonesia.


Moon Changgil dengan pandai menjadikan karya sastra sebagai senjata yang digunakan untuk menanggulangi dan menghadapi ketimpangan dan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ia juga terus memberi kesuburan kepada karya sastranya dengan menggunakan fenomena-fenomena dunia yang terjadi. Dengan prinsip sastra sebagai cerminan hidup, Moon Changgil berhasil merefleksikan dan memberi bayangan kepada khalayak luas mengenai kondisi dan kehidupan rakyat kecil serta permasalahan yang terjadi di Korea. (Nurul Ashyfa Khotima)Korea Selatan saat ini tengah menjadi negara yang tersorot dan diperhatikan oleh setiap negara, terutama Indonesia. Hallyu atau Korean wave merupakan istilah tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara pada sejak tahun 1990, berupa target penggemar anak muda yang berusia remaja hingga 20-an. Namun, sekarang penggemar tidak mandang umur pada kesukaannya terhadap budaya pop Korea. Melalui media sosial seperti Youtube dan aplikasi media sosial lainnya dapat dengan mudah tersebarnya budaya pop Korea sehingga tidak hanya musik dan drama saja yang paling banyak disukai tetapi seperti makanan, budaya, bahasa korea dan sastra juga disukai.

Sastra Korea bisa terbilang sedikit peminatnya, hanya kaum tertentu saja yang menikmatinya. Walaupun masih banyak yang belum melirik sastra Korea, mungkin keterbatasan dari bahasanya yang menyebabkan sedikitnya minat atau buku yang diterbitkan belum masuk ke negaranya. Namun zaman sekarang sudah banyak para penerjemah yang menerjemahkan buku novel maupun puisi dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia, sehingga memudahkan untuk peminat sastra Korea bagi masyarakat Indonesia.

Menerjemahkan suatu bahasa yang bukan bahasa kita sehari-hari sangatlah sulit karena harus menerjemahkan bahasa tersebut dengan akurat. Selain itu, juga harus menguasai materi yang diterjemahkan, memiliki komunikasi yang baik, memahami bahasa Korea secara menyeluruh dan kedisiplinan. Hangeul merupakan alfabet yang digunakan untuk menulis bahasa Korea. Tidak hanya huruf konsonan dan huruf vokal saja yang berbeda, melainkan semua tulisan huruf pun sangat berbeda dari tulisan huruf Indonesia. Sehingga Nenden Lilis menerjemahkan buku karya Moon Changgil bersama Kim Young Soo, seorang yang menyelesaikan studi S1 di jurusan bahasa Malay-Indonesia HUFS (Hankuk University of Foreign Studies). Lalu, S2 ia tamatkan di Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya menyorot karya Pramoedya Ananta Toer) di HUFS.

Sebelumnya juga ia menerjemahkan sebuah buku yang berjudul “Antologi Puisi dan Prosa Langit, Angin, Bintang, dan Puisi” karya Yun Dong Ju yang diterjemahkan bersama Prof. Shin Young Duk, PhD (Pustaka Obor, 2018). Meskipun terhambat pada bahasa, dengan mengajak seseorang yang ahli pada bahasa atau bidangnya tidak menjadi masalah untuk tetap berkarya.

Bilamana seseorang mendengar seseorang menyebut Korea Selatan, pertama yang ada di benaknya mungkin masakannya, baju adat, musik, film dan drama. Tapi, tahukah kalian bahwa dalam sebuah buku Kumpulan Puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil seolah memberitahu kepada kita tentang apa yang tidak kita ketahui dari sisi “lain” Korea Selatan. Korea Selatan pun memiliki banyak hal yang tidak kita ketahui seperti negara lainnya, sejarah perang dingin dengan Korea Utara, kehidupan pekerja buruh, kehidupan malam, kapitalisme, ekonomi, pelecehan seksual, dan kasih sayang keluarga atau kekasih.

Puisi-puisi karya Moon Changgil bertemakan kehidupan sehingga menganalisis menggunakan semiotik yang mempelajari tanda-tanda yang ada pada sebuah karya sastra. Dalam buku puisi karya Moon Changgil ini memiliki bab yang dinamai rangkuman, terdapat rangkuman 1 hingga 4 yang setiap rangkumannya menceritakan sisi “lain” negara Korea Selatan. Rangkuman 1 tentang keluarga, cinta yang tak lagi bersama, kebiasaan “minum” dan kehidupan para pekerja buruh seperti petani, nelayan, bangunan dan sejenisnya yang pahit serta senantiasa berjuang untuk menghidupi kehidupan. Terdapat puisi yang setiap katanya memiliki suasana imaji suara (auditif) dan imaji penglihatan (visual). Contoh puisi “Ayahku”, sebagai berikut:

Ketika Ayah pergi ke pabrik setiap pagi

Sambil menegakkan bahu yang miring

Kami, istri dan anak perempuan yang tersayang

Mendoakan keselamatannya hari itu

Sambil melambai-lambai tangan kecil tanda selamat jalan.

Demi Ayah yang memegang alat las panas dengan kuat

untuk menyambung kepingan hidup yang kelaparan

Ibu tergesa-gesa menyiapkan makan malam

Sambil mengharapkan Ayah cepat pulang. (Hal. 14)

Rangkuman 2 berisikan puisi-puisi perang antar Korea Selatan dan Korea Utara. Perang Korea adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953. Dari terjadinya perang tersebut mengakibatkan terpisahnya antara Korea Selatan dengan Korea Utara hingga saat ini. Kendati demikian, menyisakan sebuah kesedihan mendalam terhadap beberapa keluarga yang berpisah akibat terpisahnya kedua negara. Tidak luput sebuah kekejaman yang terjadi pada pelecehan seksual. Diksi-diksi yang digunakan pun pada puisi-puisi yang terdapat dirangkuman 2 terasa lugas.

Sosial politik menjadi pembahasan pada rangkuman 3 dan juga 4. Beberapa puisi terlihat satu kalimat panjang tanpa tanda baca sampai puisi selesai. Seperti puisi “Bayangan”, “dalam Gelap”, “Benteng”, “Sembari Menulis Sebuah Puisi”, “Di Hagung-ri, Tempat Tinggalku Dulu 1 dan 2” serta “Bunga Terompet 1 dan 2”. Tidak hanya satu paragraf panjang seperti satu tarik nafas panjang saja, melainkan juga satu kalimat panjang dengan dua atau tiga paragraf. Seperti, “Aku dalam Cermin”, “Tarian Angin”, dan “Bunga Azalea, pada April Itu”.

Secara keseluruhan kumpulan puisi karya Moon Changgil yang di dalamnya terdapat beberapa tulisan puisinya yang padat. Seolah memberitahu semua hal tentang sisi “lain” negara Korea Selatan perlahan namun, menyeluruh menceritakannya kepada para pembaca. Seakan-akan kita seperti didongengkan kembali pada masa peperangan, dampak dan kekejaman dari peperangan tersebut. Maupun cerita kehidupan para pekerja buruh, percintaan yang usai, dan kasih sayang keluarga. 

Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api adalah sebuah kumpulan puisi yang disadur ke dalam bahasa Indonesia. Judul dalam bahasa Korea yakni Cholgili Hwimanghanuh Koteun yang pada tahun 2001 kumpulan puisi tersebut menerima dana kreasi karya dari Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea.

Moon Changgil lahir di Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Sudah melahirkan banyak karya berupa kumpulan puisi yakni salah satunya Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bulguk Dokrip Seoshin) juga menerima dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi (2019).  

Selain dalam kumpulan puisi tunggal, puisi-puisi Moon Changgil pun terbit dalam antologi bersama, antara lain Di Ujung Mata Ikan (Mulkogi Kyotmun Soke Deun). Moon Changgil bergabung di Komunitas Sastra Buruh Guro dan pada 1984-1990 di bagian sastra Persatuan Pemuda Perusahaan Demokratisasi.

 Lahirnya Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api merupakan sebuah kumpulan puisi penulis korea asli yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerjemahan kumpulan puisi tersebut dilakukan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo berperan sebagai penerjermah karya-karya Moon Changgil dan bertindak sebagai penyambung lidah antara Korea dan Indonesia. 

Dilengkapi dan didukung Nenden Lilis Aisyah maka kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api dijadikan sebagai kesempatan untuk memperkenalkan karya sastra Korea kepada pembaca Indonesia.

Kim Young Soo, pria berdarah Seoul, Korea yang telah menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa Malay-Indonesia HUFS (Hankuk University of Foreign Studies). Melanjutkan studi S2 yang ia tamatkan di Program Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya menyorot karya Pramoedya Ananta Toer) HUFS. Adapun program S3 berhasil dituntaskan di jurusan Sastra Bandingan HUFS, dengan disertasi berjudul A Study on Chairil Anwars’s Poems wih Postcolonialistic View. 

Kemahiran bahasa Indonesia yang sudah dikuasi Kim Young Soo mengajak dirinya untuk menciptakan beberapa tulisan berupa buku terjemahan Korea Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai kepala siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan kini berpusisi sebagai anggota Changjak 21.

Disempurnakan dengan Nenden Lilis Aisyah, Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api sudah bisa dinikmati oleh para pembaca Indonesia. Nenden Lilis Aisyah, sosok wanita berdarah Garut, Jawa Barat Indonesia. Berkecimpung di dunia sastra dengan menulis sajak, cerpen, dan esai yang dimuat di berbagai media massa nasional hingga internasional. 

Sejumlah karyanya terbit dalam berbagai antologi Kanon Sastra Indonesia. Memiliki banyak karya dan prestasi yang memungkinkan Nenden sering diundang untuk membacakan karyanya dan menjadi pembicara dalam event sastra. 

Selain menciptakan sebuah karya, Nenden Lilis Aisyah turus serta menerjermahkan karya sastra mancanegara salah satunya ialah yang dijadikan objek dalam tulisan ini yakni Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api dan kini Beliau menjadi dosen di UPI Bandung.

Diciptakan oleh penulis yang luar biasa begitu juga dengan hasil terjemahan yang sangat apik, Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api menjadi sebuah kumpulan puisi Korea yang bisa dinikmati oleh para pembaca Indonesia. Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api mengangkat kisah masa silam Korea yang mampu menambah wawasan terkait sejarah dunia. 


            Moon Changgil adalah seorang penyair kelahiran Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Moon dapat dikategorikan sebagai penyair angkatan 80-an karena beliau mulai menulis puisi pada tahun 1984 melalui antologi Puisi Dure (Duresi Dongin). Pada saat itu juga Moon bergabung dengan Komunitas Sastra Buruh Guro dan pada tahun 1984 sampai 1990 Moon masuk dibagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan Demokratisasi. Dua karya luar biasa Moon Changgil berhasil mendapatkan dana bantuan, yakni pada antologi puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api mendapatkan dana kreasi karya Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea pada tahun 2001 dan antologi puisi Amanat Kemerdekaan Negara Utara yang menerima dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi pada tahun 2019. Beliau adalah sastrawan yang tetap memperjuangkan sastra elit khususnya dalam bentuk puisi. Dia adalah Moon Changgil, seorang sastrawan yang ingin terus melestarikan sastra elit dan menghidupkan ruh kepedulian terhadap keadaan sosial-politik di Korea Selatan. aktif menulis, Moon juga aktif dibeberapa organisasi sastra di Korea, seperti Moon memimpin kelompok Changjak21, mengelola majalah sastra Changjak21, bergabung dalam Konferensi Pengarang Korea, Perhimpunan Penyair Korea, Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset Kesusastraan Bangsa, Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat Demokrasi Goyang.  

 

            Buku antologi puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api yang ditulis oleh Moon Changgil diterjemahkan oleh dua orang hebat yang juga sama-sama mendalami dunia kesusastraan. Kedua penerjemah tersebut adalah Kim Young Soo seorang laki-laki berdarah Korea dan Nenden Lilis Aisyah seorang perempuan cantik asal Indonesia yang berdarah Sunda. Kim Young Soo lahir di Seoul, Korea Selatan. Beliau menyelesaikan studinya di Hankuk University of Foreign Studies. S1 dengan Jurusan Bahasa Malay-Indonesia, S2 Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia, dan S3 Jurusan Sastra Bandingan. Kim Young Soo juga aktif menulis, beberapa tulisannya adalah The Haecho's Journey: A Monk of Shilla's Kingdom Korea to Sriwijaya Kingdom dan Indonesia Language Practice. Selain menulis Kim Young Soo juga berhasil menerjamahkan sejumlah buku dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia dan begitu pun sebaliknya. Berikut ini adalan beberapa buku yang telah diterjemahkan oleh Kim Young Soo, Orang Suci, Pohon Kelapa karya Choi Jun, dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Kim Young Soo juga pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan kini berpuisi sebagai anggota Changjak21.

            Sementara Penerjemah cantik asal Indonesia berdarah Sunda, Nenden Lilis Aisyah lahir di Garut, Jawa Barat, Indonesia. Beliau banyak menulis sajak, cerpen, dan esai yang dimuat diberbagai media massa nasional dan internasional. Selain sebagai seorang penulis beliau juga adalah seorang dosen yang selalu membagikan ilmu-ilmunya kepada mahasiswa dan mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia. Beberapa karyanya dimuat di berbagai antologi kanon sastra Indonesia. Selama mendalami dunia sastra beliau telah meraih beberapa penghargaan, seperti penghargaan dari Pusat Bahasa 2005 untuk kumpulan cerpen Ruang Belakang. Terdapat beberapa karya beliau seperti kumpulan sajak tunggalnya Negeri Sihir dan cerpen yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Mandarin. Selain itu beliau juga sering diundang untuk membacakan karya-karyanya atau sebagai pembicara dalam event sastra, seperti pada workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara, Festival de Winternachten di Den Haag Belanda, pembacaan sajak dan diskusi di KBRI dan INALCO Paris (Prancis), Festival Puisi Internasional Indonesiadi Teater Utan Kayu Jakarta, Festival Puisi Internasional Indonesia, Diskusi dan Pembacaan Puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh Malaysia, Seminar di IPG Malaysia, The 3rd Schamrock Festival of Women Poets di Jerman, dan lain-lain. Selain sebagai seorang penulis, beliau juga berhasil menerjemahkan beberapa karya sastra negara lain, seperti Antologi Puisi dan Prosa Langit, Angin, Bintang, dan Puisi karya penyair Korea Yun Dong Ju yang berhasil diterjemahkan bersama Prof. Shin Young Duk, PhD. Saat ini beliau telah mengeluarkan antologi terbaru dengan judul Maskumambang Buat Ibu. (Aisyah, 2021: 115-116)

            Penerjemahan karya sastra merupakan salah satu gerbang masuk untuk saling mengenalkan kebudayaan satu dengan yang lainnya. Namun, menerjemahkan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Bahkan seorang pakar asal Rusia, Mikhail Rusnitzky menganalogikan proses penerjemahan seperti seserorang yang harus membangun rumah di negara lain, sementara di negaranya sendiri tidak ada rumah dengan arsitektur  seperti itu, bahkan seluruh kondisi alamnya pun sangat berbeda. Menurut Alfons ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti situasi sosial ekonomi, akses terhadap referensi, dan penghargaan orang terhadap penerjemah dan hasil karya. Kualitas dari karya yang diterjemakan menjadi tanggung jawab seorang penerjemah, karena seorang penerjemah harus memindahkan bahasa tertentu ke bahasa sasaran dan terkadang bahasa tersebut kurang mereka kuasai, selain itu bahasa ungkapan-ungkapan khas dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan kondisi sejarah, sosiologi, dan budaya. Salah satu contoh penerjemahan yang dilakukan adalah menerjemahkan karya sastra Korea ke dalam bahasa Indonesia (Herman, 2019). Hingga pada tahun 2003 didirikan KLTI yang pendanaannya didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Korea. Tujuan didirikannya KLTI adalah untuk mempromosikan dan menyebarkan karya-karya sastra Korea ke seluruh dunia. Salah satu upayanya adalah dengan menerjemahkan karya-karya korea ke berbagai bahasa lain, di antarnya ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini telah terbit kurang lebih dua buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hasil dari program KLTI antara lain kumpulan cerita pendek Laut dan Kupu-kupu yang diterjemahkan oleh Koh Young Hun dan Tommy Christomy, dan kumpulan sajak Puisi buat Rakyat Indonesia yang diterjemahkan oleh Chung Young Rim (Hari, 2009).  Seiring dengan berjalannya waktu karya sastra Korea semakin banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti New York Bakery, Pasukan Buzzer, Shine, Every Day is A Sunny Day When I Am With You, Fish in The Water, Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982, Saha Mansion, Her Name Is..., Catatan Harian Sang Pembunuh (Diary Of A Murderer), Bone, I'll Go To When the Weather is Nice, Ibu Tecinta, dan lain-lain. Selain novel terdapat juga antologi puisi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Langit, Angin, Bintang dan Puisi, Pesan Sang Mentari, Orang Suci Pohon Kelapa, dan salah satunya adalah Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil yang diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A.

            Antologi Puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api tersebut memuat 58 puisi yang terbagi menjadi 4 rangkuman. Setiap rangkuman memiliki tema yang berbeda. Rangkuman pertama menceritakan tentang nasib masyarakat sebagai pekerja kecil seperti seorang buruh bangunan, pekerja kasar harian, petani kecil, nelayan, dan sebagainya. Dalam rangkuman pertama puisi-puisi yang ditulis oleh Moon Changgil merupakan sebuah kritik terhadap kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Rangkuman kedua bertema tentang unifikasi atau persatuan Korea.  Mengingat sebagai akibat dari adanya perang dingin menyebabkan Korea terbagi menjadi dua, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Belum sempat menikmati kemerdekaannya dua negara adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet mendarat di Semenanjung, karena sebelumnya mereka telah membuat persetujuan berkaitan dengan pembagian Semenanjung tersebut. Hingga akhirnya Korea Selatan dikuasai oleh Amerika Serikat yang ideologinya lebih condong pada demokrasi-kapitalis. Sedangkang Korea Utara dikuasai oleh Uni Soviet yang ideologinya condong pada ideologi komunis. Sementara itu rangkuman ketiga dan keempat menggambarkan kehidupan secara individu atau personal. Persoalan yang diangkat menyangkut berbagai aspek kehidupan, seperti agama, norma hidup, keindahan alam,cinta, dan lain-lain. Pusi-puisi yang ditulis pada rangkuman ketiga dan keempat banyak menggunakan nuansa imajis.

            Puisi yang dimuat dalam antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil hampir 90% bertemakan sosial-politik. Hal tersebut dikarenakan latar belakang penulis yang peduli dengan keadaan sosial-politik di Korea Selatan. Moon ingin menyuarakan dan memperlihatkan fakta yang sebenarnya terjadi dibalik kegemerlapan kehidupan Korea Selatan yang selama ini orang-orang lihat. Di balik merebaknya demam K-Pop dan K-Drama yang menyebabkan orang-orang memandang Korea Selatan adalah negara yang makmur, mewah, dan sejahtera, namun ternyata tidak sedikit penduduk Korea Selatan hidup dalam kesengsaraan yang hanya bernasib sebagai pekerja kasar seperti seorang nelayan, buruh bangunan, pekerja kasar harian, petani, dan lain-lain. Moon selalu mengajak masyarakat Korea Selatan khususnya untuk terus membuat perubahan kearah yang lebih baik dan antologi puisi ini adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Moon Changgil untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Moon menjadikan pena sebagai senjata untuk membantunya dalam berjuang mendirikan sistem kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat Korea Selatan. Puisi-puisi tersebut merepresentasikan berbagai permasalah sosial yang tejadi di Korea Selatan di antaranya adalah kemiskinan, hak asasi manusia, dan perpecahan yang terjadi antara Korea Selatan dan Korea Utara. Seperti dilihat dari salah satu puisi yang berjudul "Wanita Dari Ahnyang" bagaimana kehidupan seorang penjual ikan yang harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi uang demi menyekolahkan anak laki-lakinya dan membelikan anak perempuannya piano. Sementara itu representasi perjuangan warga Korea Selatan yang harus berjuang untuk hidupnya juga terdapat dalam puisi yang berjudul "Pemandangan Gedung Koperasi Kredit". Di dalam puisi tersebut digambarkan kehidupan tukang sampah yang menarik gerobaknya, seorang anak yang harus bekerja dengan menyebarkan selembaran surat kabar, dan seorang kakek pemilik toko yang harus membuka tokonya lebih pagi. Tapi semua itu mereka kerjakan dengan penuh kesabaran dan semangat, mereka juga seperti saling memberi semangat dengan sapaan yang dilontarkan setiap pagi.

          Harapan adanya persatuan dan kesatuan antara Korea Selatan dan Korea Utara juga disampaikan oleh Moon dalam puisi-puisinya yang terdapat dalam rangkuman kedua. Bila dilihat, saat ini Korea memang terbagi menjadi dua, yakni Korea Selatan dan Korea Utara. Perpecahan Korea ini berawal dari kalahnya Jepang pada tahun 1945. Saat itu Amerika Serikat dan Uni Soviet menduduki Semenanjung Korea dengan tujuan untuk negara perwalin dan mempersiapkan kemerdekaan untuk negara tersebut. Amerika Srikat menduduki Semenanjung bagian Selatan, dan Uni Soviet menduduki Semenanjung bagian Utara. Di Selatan, Amerika mendirikan pemerintah militer. Sedangkan di Utara Uni Soviet membangun negara Komunis. Perselisihan kedua negara adidaya tersebut menyebabkan terjadiya perang saudara yakni antara Korea Selatan dan Korea Utara. Kekacauan itu terjadi hingga saat ini dan hal tersebut terbukti dengan terbaginya Korea menjadi dua bagian, yakni Korea Selatan dan Korea Utara.

            Moon Changgil adalah seorang sastrawan sekaligus pencipta perubahan yang menyampaikan aspirasi-aspirasinya melalui tulisan. Tulisan yang Moon ciptakan benar-benar sampai ke dalam hati pembaca. Kemampuan Moon Changgil menggambarkan keadaan dalam bentuk kata-kata sangat berhasil dan sukses sehingga pembaca dapat dengan mudah berimajinasi dan membayangkan apa yang disampaikan oleh Moon dalam tulisannya karena puisi yang ditulis oleh Moon Changgil didominasi oleh suasana imajis. Pemilihan diksi yang lugas dan tegas dapat membangkitkan semangat pembaca khususnya Bangsa Korea Selatan untuk terus menyuarakan keadilan, hak asasi, persatuan dan kesatuan. Tak hanya masyarakat Korea Selatan yang dapat menikmati karya-karya Moon Changgil, kini masyarakat Indonesia juga sudah dapat menikmati karya-karya beliau karena antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis A. Tak kalah indah dari karya asli, karya hasil terjemahan juga sangat indah dan menyentuh. Menerjemahkan bukanlah hal yang mudah, namun kedua penerjemah tersebut berhasil menerjemahkan karya Moon Changgil tanpa menghilangkan makna asli dari karya tersebut. Pembagian kumpulan puisi menjadi empat rangkuman dan berdasarkan tema dapat memudahkan pembaca dalam menikmati dan memahami puisi-puisi tersebut. cover buku sangat aesthetik dan tidak terlalu color full sehingga sangat relevan dengan isinya.

            Antologi Apa yang Diharapkan Rel Kerata Api menjadi sebuah ajakan yang digaungkan oleh Moon Changgil. Beliau mengeluarkan senjatanya kemudian menorehkannya di atas kertas mengajak seluruh penduduk Korea Selatan agar lebih membuka mata dan peduli terhadap kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Selain itu Moon Changgil juga ingin terus melestarikan sastra elit yang hari ini mulai terlupakan dan kalah oleh sastra populer. Buku ini sangat cocok bagi seluruh kalangan masyarakat, khususnya bagi orang-orang yang menekuni dan menikmati kesusastraan baik kesustraan Indonesia atau pun kesusastraan Korea.

fiorentia viviane lesmana