Andai Tuhan jadikankau sajadah,
di sinilah aku bersujud, andai Tuhan jadikankau Ibu, di sinilah aku mengadu. Andai Tuhan jadikan kau laut, di
sinilah aku berteriak, andai Tuhan jadikan kau cahaya, bersamamu aku ceria dan andai Tuhan jadikan kau saputangan, maka
kaulah yang akan menghapus air mataku.
Semua luka, semua bahagia, semua resah dan kegalauan tertumpah ruah
dalam kata. Hanya ini yang aku bisa. Selain sajadah, engkaulah tempatku
mencurahkan semua rasa. Selain Ibu engkaulah tempatku mengadu. Selain laut,
engkaulah tempatku berteriak. Selain cahaya, engkaulah yang memberiku terang. Selain
saputangan, engkaulah yang menghapus tetesan airmataku.
Petualanganku berawal dari sini. Adakah yang sama denganku ?
Menulis luar biasa pengaruhnya bagi hidupku. Karena dengan menulis aku
merasa hidupku terasa ringan. Maafkan aku lembaran putih, karena telah kuserahkan
semua beban hidupku padamu. Terimakasih lembaran putih, karenamu bahagiaku
terungkap lewat kata dan tulisan.
Aku terpuruk dalam luka yang begitu dalam, kugoreskan kata demi kata
mengikuti irama hati yang terus mengalunkan nada-nadanya dengan penuh perasaan.
Semakin lama, lembaran putih tanpa makna semakin penuh dengan kata yang
bersahaja. Takada malu, takada sungkan, kugoreskan terus satu demi satu
hurup-hurup yang tak bermakna merangkai sebuah cerita yang tak berkesudahan.
Resahku, membuatku kalang kabut, terduduk diam tak menentu, beraktivitastak jelas yang dituju, bersenandungnamun tak merdu. Dalam resah otakku seakan semrawut
dan ubun-ubunku bergolak menuju satu titik yang sulit untuk dipecahkan. Kutekan
tuts demi tuts keyboard laptopku. Kutulis semua yang kumau sesuai isi kepalaku.
Tak pernah kurencanakan apa dan bagaimana akhir kelelahanku menekan tuts-tuts
ini. Yang kuingin sekedar menumpahkan resah dan gelisahku di sini.
Menulis adalah sarana balas dendamku menumpahkan semua kegalauan yang
kurasakan kini. Melalui media laptop kuungkapkan semuanya, akan tetapi kamu
hanya diam, laptop.Tak berkutik apalagi
melawan, saat aku tekan dengan cepat dan kencang setiap hurup yang menutupi
tubuhmu.
Aku bahagia saat semua rasa tercurah di sana, entah bagaimana dengan
dirimu, aku tak perduli, yang penting aku bisa merangkai kata membuang semua
resah dan gelisahkutanpa mengorbankan
orang-orang di sekelilingku.
Satu demi satu sandiwarakehidupan kuungkap dalam cerita. Lakon penuh kenangan kutuliskan tanpa
terasa. Semua catatan penaku kuisi dengan ruh-ruh penuh makna agar menjadi
kenangan di suatu masa saat aku tiada. Semua kerinduanku dan kerinduanmu
menyatu dalam surat cinta yang penuh makna. Menulis, adalah obat jiwa di saat
luka, menulis adalah obat kalbu dikala rindu, menulis adalah obat rasa dikala
ceria.
Walau ada sosok ibu tempatku mengadu, akan tetapi tak mungkin semua
risau, semua luka dan kepahitan hidupku ku ceritakan padanya. Aku ingin dia
tahu, anaknya bahagia dalam limpahan cinta yang luar biasa. Aku ingin dia tahu,
anaknya tertawa mengecap manisnya candu bahagia kehidupan yang fana. Biarlah
luka hati ini, kusimpan dalam goresan kata, biarlah risau rasa ini terbuncah
dalam ketukan jari-jari yang mengerti tanda, yang harus ibuku tahu hanya tawa
dan ceria yang tergambar dalam wajah bahagia.
Satu masa saat cinta terkhianati, aku terpuruk dalam luka hati yang tak
berkesudahan, hanya goresan pena yang terbuncahkan dalam dinding-dinding yang
tak berdosa. Kujadikan tembok bisu sebagai pelampiasan jiwa, kugoreskan kata
demi kata, ungkapan rasa yang terluka. Takada yang mengerti bagaimana jatuh
bangunnya aku membangun kepercayaan diri selain ungkapan kata dalam tembok bata
dan lembaran suci yang kini telah hilang
bersama bongkahan istana masa laluku, bersama lembaran kisah pilu di masa itu.
Dulu lembaran suci itu saksi bisu kebahagiaanku bersamamu, saksi resah
kerinduanku kepadamu, saksi pilu kesedihanku bersamamu, dan saksi luka
pengkhiatanmu kepadaku. Namun kini semua itu telah lenyap ditelan lembaran baru
penuh dengan rindu bersama jodohku. Aku di sini kini telah melupakanmu, walau
lembaran luka itu masih teronggok di sudut kalbuku, Namun aku berusaha untuk
membuangnya ke tempat yang seharusnya. Walaupun itu berat.
Bagaimana tidak, antara benci dan cinta seakan tak terhalang oleh masa.
Kamu yang telah meninggalkanku di pelaminan bahagiamu tanggal 7 April,menjadi tanggal yang menyakitkan hatiku.
Namun di sisi lain, suamiku berkelahiran dengan tanggal yang sama yaitu 7 April.
Bagaimana aku bisa melupakan tanggal tersebut. Tanggal yang telah Allah
tuliskan untuk orang pertama yang hadir di relung hatiku,yang telah menyakitiku dan orang
terakhiryang membahagiakanku hingga
kini dan hingga surganya nanti. Amin yra
Goresan pena takada hentinya melukiskan semua rasaku, banyak keajaiban Tuhan
yang kutuliskan melalui jemariku, … terlalu banyak, hingga aku tak kuasa menuliskannya satu
persatu, selain rasa syukur yang kuungkapkan lewat sujudku, menerima berkah-Mu
yang memberiku kuasa tuk menuliskan semua rasa dalam ayunan pena yang tak bosan
mengukirkan kata.
Suatu senja kala pertama kubertemu denganmu, takpernah ada rasa yang
tertanam dalam jiwa. Hanya tatapan penuh makna menyiratkan rahasia sang kuasa
hingga menyatukan dua insan dalam balutan asrama. Melalui goresan pena, kau
ungkap rasa, walau aku tak berdaya, akan tetapi kuberusaha tuk tetap membalasnya.
Menulis menjadi aktivitasku yang tiada membosankan. Karena mendapat kabarmu
adalah suatu kebahagiaan.
Tulisan demi tulisan yang menjadikan kenangan perjalanan cinta kita di
masa muda menjadi sejarah di hari tua. Karena tulisan itulah candu cinta dan asmara
semakin hari semakin erat mendekap rasa takterpisahkan. Aku dan kamu dalam
balutan cinta penuh makna dalam rangkaian kata yang tertuliskan dalam lembaran
suci dan gawai asmara.
25 tahun sudah perjalananku bersamamu, dalam suka dan duka. Terbayang,
jika harus dibukukan, berapa buku yang bisa aku tuliskan untuk mengungkap semua
lakon asmara kita berdua. Namun semua itu terukir indah dalam kumparan rasa
yang terus kita olah dalam kata yang bermakna, hingga kini. Walau hanya lewat gawai asmara.
Terbayang selalu, saat dulu kau bertugas di perbatasan bumi pertiwi ini,
hari-hari yang kau dan aku nanti adalah surat cinta ungkapan rasa, luapan rindu
yang bergelora. Kau ungkap semua rasa dalam kata-kata yang bermakna tanpa ada
dinding pembatas rasa, kau buang rasa malumu, kau buang rasa sungkanmu, kau
ungkap semua rindumu yang membuatku semakin mabuk cinta.
Akupun sama, sepertimu, kuungkap semua rasa lewat goresan pena yang
terus berbalas setiap minggu, takada bosan, takada lelah. Kuterus menantimu
disela-sela doaku yang selalu kupanjatkan agar selalu dalam lindungan Sang
Kuasa.
Kebahagiaan menerima surat cintamu, melebihi bahagianya aku di tanggal
muda saat menggesek ATM gajimu. Ternyata tulisanmu, adalah gairah hidupku. Ku
dekap erat surat cintamu, serasa kau yang ada dalam pelukanku.
Terimakasih Tuhan, karena berkahmu memberikan aku dan suamiku kemampuan
tuk menulis, rasa rindu kami bisa terlampiaskan, karena goresan pena itu pula,
rasa cinta kami, tidak sekedar nafsu belaka, akan tetapi selalu ada untaian doa
disetiap surat cinta agar segera dipertemukan lagi.
Aku di sini tetap menanti tulisanmu walau kini tidak melalui lembaran
suci lagi, aku di sini tetap menanti kehadiranmumelalui gawai cinta yang selalu berdering,
walau hanya sekedar bertanya, sedang apa? Kamu yang di sana tetap kurindu
disetiap waktu, kamu yang di sana menjadi sebuah cerita dalam goresan penaku.
Kutetap menantimu disetiap lengangmu, kutahu harapku dan harapmu bisa terus
bersatu, akan tetapi kita memiliki tanggung jawab melaksanakan tugas kita
mencari nafkah untuk anak-anak kita Tugasmu melaksanakan tugas Negara, sebagai
abdi bangsa tak menghalangi kita tuk selalu bercerita dalam tulisan gawai
asmara.
Semoga lelahmu menjadi barokah untuk kita semua. Biarlah goresan pena
ini menjadi kisah yang takakan hilang ditelan jaman, yang tak akan musnah
terkikis waktu.
Menulis adalahungkapan kepenasaranku
tentang takdir Tuhan yang penuh dengan tabir rahasia, di mana aku dan kamu
memang telah dipersatukan sejak dalam buaian. Banyak hal yang tak kumengerti tentang suatu pertanda yang telah
tergoreskan sejak dini. Dia yang kini menjadi pendampingku seorang abdi negara
ber nrp 2910120030471. Nomor itu telah ada sejak dia disahkan menjadi prajurit,
sebelum aku mengenalnya dan diapun begitu adanya. Tulisan angka itu ternyata
menguak sebuah kisah yang suatu hari menyatukan kami dalam balutan asmara dihadapan
illahi.
2910 adalah tanggal di mana kamu memberanikan diri memintaku pada ibuku
setelah kami dengan tanpa sengaja di pagi itu berniat untuk saling menerima, mencintai
dan melindungi serta menitipkan diri kami dalam ikatan cinta sejati. 12003 jika
dibalik adalah tanggal lahirku, 3 desember dan 0471 adalah tanggal lahirmu. Ini
bukan suatu kebetulan. Namun ini sudah takdir Tuhan. Yang telah digariskan
dalam tulisan buku harianku dan harianmu.
Menulis adalah caraku menghabiskan waktu dan mengirit isi saku di masa
pandemic covid 19 ini. Karena menulis, aku kadang lupa jika harus memburu
diskonan yang sedang ada di supermarket. Karena menulis aku kadang malas, jika
harus sekedar menggosip dengan tetanggaku dan karena menulis aku menjadi
semakin berbobot akibat makanan ringan yang harus selalu tersedia di sampingku
saat menulis. He…he…
Menulis membuatku benar-benar hanyut dalam ruh imajinasi yang tiada
henti. Aku terhanyut dalam masa laluku yang seakan menggelayuti dan aku
semakinterbuai dalam kumparan kata yang
penuh arti.
Dari menulis aku banyak mimpi, dan dari menulis aku ingin berbagi semua
ilmu yang kumiliki agar bisa berarti di masa nanti.
Harapan itu semakin abadi saat Allah pertemukan dengan grup menulis PGRI
bersama Om Jay sang motivator sejati dan kawan-kawan para penulis yang
berambisi mengisi hari agar tak habis di telan sunyi.
Menulis membuatku mengerti, jika tak semua hal bisa kita mengerti.
Menulis membuatku tahu jika imajinasi bisa menjadi bukti diri, Selamat menulis,
semoga bermanfaat dan menjadi terapi diri agar semakin bijaksana dalam meniti
hidup ini.
Pada webinar kali ini Ibu Capri seperti biasa selalu setia mendampingi acara AISEI. Dan pertemuan kali ini pula, Ibu Rita sebagai guru Inspiratif diminta untuk menceritakan apa manfaatnya setelah menulis. Menurut Ibu Rita dengan menulis dan gabung komunitas, beliau merasa menjadi orang yang luar biasa, karena banyak dikenal orang,
Menurut Ibu Rita, banyak suka duka diawal pembuatan buku, ada rasa kurang pede, apalagi saat akan membuat buku kurikulum ngumpet. Namun dari situ, saya mulai coba-coba memberanikan diri ikut lomba-lomba. Memang tidak langsung dapat juara, akan tetapi Ibu Rita terus berusaha hingga akhirnya bisa menjadi juara. Inilah awal mulai rasa pede untuk terus menulis. Hingga akhirnya bisa naik kelas dan menjadi narasumber.
Ibu Rita benar-benar dari nol bisa menulis, akan tetapi tidak pernah merasa bosan untuk terus mengikuti tantangan demi tantangan. Hingga benar-benar bisa dan sanggup memiliki beberapa buku hasil karya sendiri berkat bergabung komunitas menulis dan AISEI.
Benar-benar from zero to hero. Segala sesuatu memang membutuhkan keinginan, kepercayaan diri, dan terus belajar tanpa bosan dan lelah sebagai proses yang harus dilewati untuk mencapai sebuah puncak yang luar biasa.
Selanjutnya mbak Dahlia menjelaskan tentang AISEI
Apa itu AISEI?
Aisei adalah komunitas pendidik
Indonesia yang berdiri sejak 19 Januari 2019. AISEI kepanjangan dari The Association of International-minded
School Education for Indonesia.
Sebuah komunitas pendidik di
Indonesia yang memiliki misi memperbaiki system pendidikan di Indonesia mulai
dari akar permasalahannya, memperkenalkan system pendidikan asing, meningkatkan
profesionalisme serta mengembangkan kompetensi pendidik.
Anggota AISEI
Dengan tagline Nurturing Progressive and Transformational
Educators for Future Indonesai, AISEI berkeinginan menjadi komunitas yang terus
berkembang dan memastikan semua anggotanya dapat menjadi pembelajar seumur
hidup, selalu ingin berbagi, selalu menginspirasi dan menulis untuk
meninggalkan warisan ilmunya.
Anggota AISEI terdiri dari
1.Guru sekolah
swasta/nasional
2.Guru privat
3.Orangtua
4.Pengamat Pendidikan
5.Konsultan Pendidikan
6.Dosen
VISI dan MISI
1.VISI
·Terwujudnya organisasi
pendidik yang terbaik dan terdepan di Indonesia dan diakui kontribusinya oleh
masyarakat Indonesia dan dunia
2.MISI
·Memajukan pendidikan
nasional
·Memperkenalkan system pendidikan
asing
·Meningkatkan profesionalitas
pendidik
·Meningkatkan kompetensi
pendidik
MANAGEMENT TEAM
1.Dr. Capri Anjaya,
S.Pd., M.Hum
Founder
AISEI, Konsultan Pendidikan
2.Sri Rahayu, SH, LL.M
CoFounder
AISEI, Pengacara
3.Ir. Dewi D.
Lukitasari, M.Pd
Kepala Sekolah
SPK Cita Buana
4.Melany Kusumawati,
S.Pd., M.S. (Tangerang/Banten)
HOS (Head of
School) & Kepala Sekolah SPK Harapan Bangsa
5.Andri Nurcahyani,
S.Pd., M.S.
Kepala
Sekolah SPK Bogor Raya
6.Angela Naning
Purwaningsih, M.Pd
HR &
Finance Director of PT Jixanindo Prima
Consulting (JPC)
7.Sunarto, S.Pd
Director Utama
PT Jixanindo Prima Consulting (JPC)
8.Gina Yoviana, S.Hum.
(DKI Jakarta)
Pendidik SPK
ACS Jakarta
9.Herman Sutanto
Konsultan
Teknologi Informasi
10.Amadea Sitorus, S.SSc.
(Bali)
Pemerhati
Pendidikan
11.Dian Ariadita
F,S.I.Kom., M.Pd
K-Link Care
Center Indonesia (Specialis Need Centre)
12.Dadan, M.Pd (Jawa
Barat/Bandung)
Founder Kelas
Kreatif Pendidik SPK Bandung Independen School
4 Pillars of
AISEI
1.Pendidik belajar (life long learning)
2.Pendidik berbagi (sharing to the community)
3.Pendidik Menginspirasi
(inspiring others to be mindful)
Pendidik belajar antara lain Online workshop for educators, kolaborasi bersama PSSDM
pendidik berbagi sharing for community kolaborasi bersama ICEI
Pendidik Menginspirasi (Inspiring others to mindful) kegiatan talkshow setiap bulannya dan Inspiraction dengan narasumber-narasumber luar biasa
Pendidik menulis bersama om jay (writing your legacy)
Selanjutnya acara diisi oleh Pak Kartino, M.Pd. Dengan tema : Menulislah Walau Sedikit.
Beliau adalah Pengawas SMP yang sebelumnya sebagai guru bahasa inggris.
Pak Kartino begitu semangat dalam memperkenalkan literasi di daerahnya hingga menciptakan lagu dan pakaian khusus sebagai kapten literasi yang gagah dan luar biasa. Perjuangannya dalam memajukan literasi anak bangsa benar-benar luar biasa.
Sosok Pak Kartino yang tetap merendah, walaupun sudah banyak hasil karya menulis yang dihasilkannya.
Menurut beliau menulislah walau sedikit. Curahkan isi hati sesuai yang dialami. Awalnya ada tantangan menulis dengan deadline terbatas. Dari situlah mulai memberanikan diri menulis. Mulailah menulis dari apa yang ada di sekitar kita, dari pengalaman kita. Buku pertama Pak Kartino berjudul Dua satu, karena terlahir di tanggal 21 April pas tanggal Ibu Kartini lahir, dibantu lahir oleh Ibu Kartini, sekarang tinggal di Jl Kartini, sehingga angka 21 selalu mengikuti Pak Kartino. Oleh karena itu mulailah menulis hingga selesai. Karena jika kita tak menulis maka kita tidak akan mungkin bisa menjadi tokoh faforit kita.
Pak Kartino lebih konsen kepada buku anak-anak. Namun beliau tidak menjualnya secara bebas. jadi beliau memproduksi sesuai pesanan saja.
Jangan takut menulis bagi pemula karena nanti ada editor yang siap membantu memperbaiki tulisan kita.
Pak Kartino memiliki ide sebagai Kapten Literasi, awalnya diawali menjadi tim narasumber yang harus memakai kostum sesuai karakter favorit. Pak Kartino terinspirasi oleh tokoh Kapten Avenger sebagai Kapten Amerika yang sangat di favoritkan oleh anak-anak.
Penerjemah : Kim Young
Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Penerbit : KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta 2021
Tebal : 116 + 12 hal
Kepopuleran hiburan
dari negara Korea saat ini telah merebak hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak
hanya lagu-lagu dari boyband dan girlband yang merajai chart tangga
musik di mana-mana, tetapi juga drama-drama Korea yang ditonton dan diminati
oleh seluruh kalangan. Drama Korea banyak diminati oleh para penggemar karena
memiliki alur cerita yang menarik dan dapat membuat penonton untuk ikut
merasakan emosi yang dirasakan oleh para aktor dan aktrisnya. Kebanyakan, tema
yang diangkat dalam cerita drama Korea adalah percintaan, persahabatan,
pengkhianatan, bahkan menghadirkan banyak genre seperti thriller, action,
dan lain-lainnya.
Drama Korea semakin digandrungi
karena merasa menemukan pasangan idamannya melalui penokohan yang dihadirkan,
bahkan dapat menginspirasi para penonton dari perjalanan hidup tokoh yang di
dalam drama. Cerita dalam drama Korea seakan-akan selalu menjanjikan akhir yang
bahagia, melalui perjuangan si tokoh utama yang harus menghadapi konflik
bertubi-tubi untuk dapat menemukan kebahagiaan tersebut.
Namun nyatanya, Korea
tidak selamanya memiliki kehangatan dan keindahan seperti yang ditayangkan
dalam drama Korea. Realitanya, tidak semua kehidupan dapat dijalani dengan
mudah dan mulus. Hal ini yang juga digambarkan oleh Moon Changgil dalam
kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api. Tema utama dalam kumpulan
puisi ini adalah potret kehidupan masyarakat awam, kehidupan pekerja harian,
dan kehidupan kaum miskin yang terjadi di Korea.
Moon Changgil
merupakan penyair dari Korea Selatan angkatan ’80-an yang juga memimpin
beberapa media dan berpartisipasi dalam organisasi sastra di Korea, salah
satunya adalah Changjak21. Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel
Kereta Api" karya Moon Changgil ini berhasil meraih dana kreasi karya
Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea. Karya-karya Moon Changgil
lainnya yaitu "Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bukguk Dokrip Seoshin)",
juga puisinya yang terbit dalam antologi bersama dengan judul "Puisi
Dure (Duresi Dongin)" dan "Di Ujung Mata Ikan (Mulkogi Kyotnun
Soke Deun)".
Kumpulan puisi "Apa
yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini diterjemahkan oleh Kim Young Soo
dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo berperan sebagai penyambung bahasa
Indonesia. Ia juga telah menerjemahkan beberapa buku bahasa Korea ke bahasa
Indonesia dan sebaliknya, seperti kumpulan puisi "Orang Suci, Pohon
Kelapa" karya Choi Jun dan "Perawan Remaja dalam Cengkeraman
Militer" karya Pramoedya Ananta Toer.
Nenden Lilis Aisyah
merupakan penulis dan penyair Indonesia yang telah memiliki banyak karya,
seperti sajak, cerpen, resensi, dan esai yang telah dimuat di berbagai media
massa nasional maupun internasional. Selain disibukkan dengan undangan untuk
menjadi pembicara dan membacakan karya-karyanya di kegiatan sastra yang
diadakan di beberapa negara, Nenden Lilis Aisyah juga bergiat dalam
menerjemahkan karya sastra dari mancanegara.
Kumpulan puisi "Apa
yang Diharapkan rel Kereta Api" ini pun tak jauh dari peran Kim Young
Soo dan Nenden Lilis Aisyah yang bekerjasama untuk menerjemahkan puisi-puisi
Moon Changgil. Melalui penerjemahan karya ini, Nenden Lilis Aisyah meneruskan
tujuan Moon Changgil untuk mengukuhkan perdamaian, hak asasi manusia,
lingkungan, dan penyadaran atas masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar
kita.
Puisi-puisi Moon
Changgil berjumlah 58 puisi yang dibagi menjadi 4 rangkuman berdasarkan
dominasi tema dan bentuk puisi di dalamnya. Puisi-puisi dalam rangkuman 1
didominasi oleh puisi yang memiliki tema kehidupan masyarakat pinggiran dan
miskin di Korea. Nasib para pekerja kecil seperti nelayan, buruh pabrik,
pengedar surat kabar, dan lain-lainnya harus menjalani kehidupan yang
memprihatinkan, keras, dan getir, namun mereka masih memiliki harapan untuk
tetap hidup.
Penyair menggambarkan
nasib para pekerja kecil ini dengan menggunakan sudut pandang pertama. Namun
ada pula yang digambarkan dengan tokoh yang diberi nama, seperti Tuan Hwang,
Tuan Ju, Bapak Gilyong, Ibu Yeonhee, Bibi Song, Paman Kim, Paman Seok, Sooki,
Park Daljae, dan lain-lain. Ada juga tokoh tanpa nama yang hanya ditulis
sebagai istri, anak, atau ayah. Beberapa puisi juga menyebutkan tempat-tempat
yang berada di Korea, seperti Samyang-dong dalam puisi “Penduduk di
Samyang-dong”, Bangojin dalam puisi “Di Dermaga Bangojin”, Ahnyang dan
Kyongsang-do dalam puisi “Wanita dari Ahnyang”, Singok-ri dalam puisi “Malja di
Singok-ri”, dan Todang-ri dalam puisi “Tuan Hwang di Todang-ri”.
Meskipun hidup
sebagai pekerja kecil, akan tetapi para tokoh dalam puisi-puisi bagian rangkuman 1
digambarkan memiliki kebahagiaan kecil dari keluarganya, atau pun masyarakat di
lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya tergambar pada puisi “Ayahku”.
Puisi ini ditulis dari sudut pandang seorang anak yang mengagumi kerja keras
ayahnya yang rela bekerja apa saja demi menyambung kehidupan keluarganya.
Ayahnya bekerja sebagai tukang las, penjual permen, pengedar surat kabar, buruh
pabrik, dan tukang gali lubang irigasi. Berikut merupakan kutipannya.
Ketika usianya hampir
30 tahun / ayahku baru bertemu dengan ibuku. // Pria polos yang menjual permen
tiga tahun / mengedar surat kabar tiga tahun / bekerja sebagai tukang penggali lubang
irigasi tiga tahun / dan menghadapi berbagai kesulitan duniawi itu / jatuh
cinta pada Ibu yang cantik. // Ketika Ayah pergi ke pabrik setiap pagi / sambil
menegakkan bahu yang miring / kami, istri dan anak perempuan yang tersayang /
mendoakan keselamatannya hari itu / sambil melambai-lambai tangan kecil tanda
selamat jalan. // (hlm. 14).
Pekerja lainnya
seperti nelayan, tergambar dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” dan “Wanita dari
Ahnyang”. Nelayan dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” digambarkan bagaimana
perjuangan seorang nelayan yang harus berlayar untuk menangkap ikan dan harus
terbiasa dengan sendi-sendiri yang sakit, angin laut, serta bau amis dari ikan
yang menusuk. Sedangkan puisi “Wanita dari Ahnyang” menceritakan seorang wanita
penjual ikan di Bangojin yang memiliki cita-cita untuk membahagiakan
anak-anaknya dengan menyekolahkan anak laki-lakinya hingga universitas dan
membelikan piano untuk anak perempuannya.
Pekerja-pekerja kecil
lain seperti kehidupan para petani dapat dilihat pada puisi “Malja di
Singok-ri”. Sedangkan pekerja buruh pabrik dan pekerja serabutan lainnya dapat
dilihat pada puisi “Anak Perempuan yang Cerah”, “Pemandangan Gedung Koperasi”,
“Abang K di Pabrik Eletronik”, “Rumput Liar di Atas Aspal”, dan “Tuan Ju, Penduduk
Daerah Khusus”. Buruh pabrik dan pekerja serabutan dalam puisi-puisi Moon
Changgil digambarkan dengan perjuangan para tokohnya yang berjuang dan bekerja
keras untuk dapat melewati kepahitan hidup yang harus mereka terima tanpa
harapan atau pun masa depan yang gemilang. Salah satunya diakibatkan oleh
kemiskinan yang harus mereka atasi sendiri, seperti yang dideskripsikan dalam
puisi “Abang K di Pabrik Elektronik” yang harus puas dengan pendidikannya
hingga jenjang SMP dan bekerja sebagai teknisi elektronik. Abang K dalam puisi
ini tidak bisa—dan tidak mampu—untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA
karena keterbatasan ekonomi, sehingga ia akhirnya merantau ke kota Seoul.
Tak hanya kemalangan
dan kemiskinan yang menimpa nasib mereka, namun kepedihan juga menghantui kisah
percintaan dalam puisi-puisi Moon Changgil, seperti yang tergambar dalam puisi
“Tuan Hwang di Todang-ri 1”, “Tuan Hwang di Todang-ri 2”, dan “Tuan Hwang di
Todang-ri 3”. Tuan Hwang harus rela kehilangan anaknya, Sunjeong, yang diadopsi
oleh orang asing dari Denmark. Ia juga harus kehilangan nyawa seorang istri,
Nona Han, hingga menumbuhkan kesedihan dan penyesalan dalam diri Tuan Hwang.
Di balik kesedihan
dan kesulitan yang harus mereka hadapi, Moon Changgil menyisipkan sebuah
kebahagiaan serta semangat juang di dalam puisi-puisinya. Bagi rakyat kecil
seperti tokoh-tokoh dalam puisi, kebahagiaan dapat diraih dengan sederhana,
seperti melalui senyum yang terpancar dari anak perempuannya yang mampu
menghangatkan hati seorang ayah dalam puisi “Anak Perempuan yang Cerah”. Atau
juga semangat yang mengalir dalam darah seorang kuli bangunan untuk terus
bekerja demi menghidupi istri tercintanya. Melalui puisi-puisi dalam bagian
rangkuman 1 ini, kita dapat melihat bagaimana para pekerja kecil yang memiliki
keterbatasan namun tetap memiliki keinginan untuk terus melanjutkan hidupnya.
Rangkuman 2 dalam
buku kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" didominasi
oleh tema sejarah Korea, terutama ketika perang berlangsung. Dalam puisi-puisi
di bagian kedua ini, Moon Changgil mendeskripsikan bagaimana kesengsaraan
rakyat serta kekejaman dari militer Amerika Serikat kepada rakyat Korea. Selain
itu, Moon Changgil juga mengungkapkan kerinduannya terhadap penyatuan dua Korea
(unifikasi) yang tergambar dalam beberapa puisi.
Kesengsaraan yang
terjadi pada rakyat Korea tergambarkan dalam puisi berjudul “Masa Perlawanan”
di mana banyak tentara yang keberadaannya tidak diketahui pada akhir Perang
Korea. Juga puisi “Buku Catatan Putih” dan “Fajar untuk Genting Biru” yang
melukiskan bagaimana perang-perang yang terjadi di Korea menghancurkan
kota-kota dan menggugurkan ribuan nyawa.
Kerinduan unifikasi
antara dua Korea, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara tergambar pada puisi “Di
Stasiun Wojeong-ri”, “Kembang Unifikasi”, dan “Kita adalah Satu”. Gencatan
senjata yang terjadi ini diawali dari pemisahan Korea Utara dan Korea Selatan
oleh garis paralel ke-38 yang melintasi Semenanjung Korea. Korea Utara yang
dipimpin oleh Kim Il Sung menganut paham sosialis yang didukung oleh Uni
Soviet, sedangkan Korea Utara yang dipimpin oleh Syngman Rhee yang menganut
ideologi kapitalis didukung oleh Amerika Serikat. Pada 25 Juni 1950, sebanyak
75.000 tentara Korea Utara turun untuk melintasi batas paralel ke-38 tersebut.
Di bulan berikutnya, pasukan Amerika Serikat akhirnya turun ke medan peran
untuk mendukung Korea Selatan untuk memerangi komunisme. Pada dasarnya, rakyat
Korea tidak menginginkan pemisahan tanah air mereka. Akibat dari pemisahan dan
perang yang terjadi, puluhan juta keluarga di Korea terpaksa harus terpisah.
Dalam Perang Korea
yang terjadi saat itu, militer Amerika Serikat juga melalukan kekejaman
terhadap rakyat Korea, salah satunya adalah pelecehan seksual terhadap
gadis-gadis Korea yang digambarkan melalui puisi “Gadis Geumchon 1”, “Gadis
Geumchon 2”, dan “Oh, Hari Itu”. Moon Changgil dengan eksplisit menyebutkan
Tentara Yankee, sebutan untuk tentara Amerika Serikat dengan konotasi mengejek,
mereka memerkosa hingga berkali-kali, bahkan disebutkan bahwa penyakit kanker
rahim telah dianggap penyakit musiman. Penyair menumpahkan amarahnya, mewakili
gadis tak bersalah yang harus menerima kekejaman tentara Amerika Serikat.
Berikut merupakan kutipan dalam puisi “Gadis Geumchon 2”.
Wahai orang-orang
dari negeri raksasa / yang punya barang besar / demi memuaskan bagian bawah
kalian / tubuh ini membusuk. // Meski hancur ribuan kali / meski menjadi putri
/ yang tidak setia pada negara / aku tetap ingin hidup / untuk memeluk dada
pemuda Goryeo / yang sepanas cabai merah dan membara. // (hlm. 40).
Dalam rangkuman
bagian kedua ini, Moon Changgil melalui puisi-puisinya mengungkapkan kemarahan,
kerinduan, dan kepedihan terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di Korea. Pemilihan
kata yang digunakan oleh Moon Changgil pun terkesan lugas dan to the point.
Dengan jelas tergambar bagaimana kekejaman masa lalu yang terjadi ketika Perang
Korea dapat meruntuhkan dan menggugurkan para rakyatnya akibat kekejian para
tentara.
Selanjutnya, bagian
rangkuman 3 dan rangkuman 4 didominasi oleh tema sosial-politik, yang
menghadirkan emosi individual dengan imajinasi penyair. Puisi-puisi yang
ditulis dalam bagian ini menggambarkan rasa cinta, keputusasaan, kerinduan,
nafsu, religius, lingkungan alam, dan norma hidup.
Beberapa puisi dalam
bagian ketiga dan keempat ditulis dengan bentuk naratif dengan kalimat-kalimat
yang disambungkan dan disatukan, sehingga satu puisi hanya terdapat satu
kalimat panjang tanpa dibubuhkan tanda baca sama sekali. Contohnya terdapat
pada puisi “Bunga Trompet 1”, “Di Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 1”, “Di
Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 2”, “Benteng”, “Dalam Gelap”, dan
“Bayangan”.
Di bawah naungan
pohon kastanye satu dua kumbang tertidur mimpi-mimpiku yang penuh semangat
keluar dari tubuh bagaikan ombak lalu lenyap mimpi itu runtuh di kedalaman yang
tak berujung menjadi mimpi purba lalu sebuah benteng bangkit sebesar
keruntuhannya. (hlm. 68).
Puisi berjudul
“Benteng” di atas ditulis dengan satu kalimat panjang tanpa putus hingga
puisinya selesai. Meskipun hanya terdiri dari satu kalimat, tapi dapat dipahami
bahwa puisi ini menceritakan tentang mimpi yang runtuh dalam waktu singkat
hingga menghancurkan harapan si aku-lirik. Namun, kehancuran dan keruntuhan
tersebut justru menjadikan aku-lirik membangkitkan kembali semangat juang untuk
menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.
Buku kumpulan puisi "Apa
yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini sangat direkomendasikan bagi yang
ingin melihat sisi lain dari Korea, terlepas dari hiburan pop yang saat ini
sedang mendunia. Kita akan melihat bagaimana pekerja-pekerja kecil di Korea
yang harus bekerja keras demi menyambung kehidupannya, juga sejarah-sejarah
lama Korea yang juga ikut diangkat sebagai bentuk pemahaman isu sosial dan
politik yang digambarkan melalui puisi-puisinya. Nenden Lilis Aisyah dan Kim
Young Soo, melalui terjemahannya juga berhasil memperkenalkan karya sastra
Korea kepada pembaca di Indonesia. Kini, karya ciptaan Moon Changgil telah terdengar
hingga ke penjuru Indonesia.
Moon Changgil dengan
pandai menjadikan karya sastra sebagai senjata yang digunakan untuk
menanggulangi dan menghadapi ketimpangan dan permasalahan sosial yang terjadi
di masyarakat. Ia juga terus memberi kesuburan kepada karya sastranya dengan
menggunakan fenomena-fenomena dunia yang terjadi. Dengan prinsip sastra sebagai
cerminan hidup, Moon Changgil berhasil merefleksikan dan memberi bayangan
kepada khalayak luas mengenai kondisi dan kehidupan rakyat kecil serta
permasalahan yang terjadi di Korea. (Nurul Ashyfa Khotima)Korea Selatan saat ini
tengah menjadi negara yang tersorot dan diperhatikan oleh setiap negara, terutama
Indonesia. Hallyu atau Korean wave merupakan
istilah tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara pada
sejak tahun 1990, berupa target penggemar anak muda yang berusia remaja hingga
20-an. Namun, sekarang penggemar tidak mandang umur pada kesukaannya terhadap
budaya pop Korea. Melalui media sosial seperti Youtube dan aplikasi media
sosial lainnya dapat dengan mudah tersebarnya budaya pop Korea sehingga tidak
hanya musik dan drama saja yang paling banyak disukai tetapi seperti makanan,
budaya, bahasa korea dan sastra juga disukai.
Sastra Korea bisa
terbilang sedikit peminatnya, hanya kaum tertentu saja yang menikmatinya.
Walaupun masih banyak yang belum melirik sastra Korea, mungkin keterbatasan
dari bahasanya yang menyebabkan sedikitnya minat atau buku yang diterbitkan
belum masuk ke negaranya. Namun zaman sekarang sudah banyak para penerjemah
yang menerjemahkan buku novel maupun puisi dari bahasa Korea ke bahasa
Indonesia, sehingga memudahkan untuk peminat sastra Korea bagi masyarakat
Indonesia.
Menerjemahkan suatu
bahasa yang bukan bahasa kita sehari-hari sangatlah sulit karena harus
menerjemahkan bahasa tersebut dengan akurat. Selain itu, juga harus menguasai
materi yang diterjemahkan, memiliki komunikasi yang baik, memahami bahasa Korea
secara menyeluruh dan kedisiplinan. Hangeul merupakan alfabet yang digunakan
untuk menulis bahasa Korea. Tidak hanya huruf konsonan dan huruf vokal saja
yang berbeda, melainkan semua tulisan huruf pun sangat berbeda dari tulisan
huruf Indonesia. Sehingga Nenden Lilis menerjemahkan buku karya Moon Changgil
bersama Kim Young Soo, seorang yang menyelesaikan studi S1 di jurusan bahasa
Malay-Indonesia HUFS (Hankuk University of Foreign Studies). Lalu, S2 ia
tamatkan di Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya menyorot
karya Pramoedya Ananta Toer) di HUFS.
Sebelumnya juga ia
menerjemahkan sebuah buku yang berjudul “Antologi Puisi dan Prosa Langit,
Angin, Bintang, dan Puisi” karya Yun Dong Ju yang diterjemahkan bersama Prof.
Shin Young Duk, PhD (Pustaka Obor, 2018). Meskipun terhambat pada bahasa,
dengan mengajak seseorang yang ahli pada bahasa atau bidangnya tidak menjadi
masalah untuk tetap berkarya.
Bilamana seseorang
mendengar seseorang menyebut Korea Selatan, pertama yang ada di benaknya mungkin
masakannya, baju adat, musik, film dan drama. Tapi, tahukah kalian bahwa dalam
sebuah buku Kumpulan
Puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil
seolah memberitahu kepada kita tentang apa yang tidak kita ketahui dari sisi
“lain” Korea Selatan. Korea Selatan pun memiliki banyak hal yang tidak kita
ketahui seperti negara lainnya, sejarah perang dingin dengan Korea Utara,
kehidupan pekerja buruh, kehidupan malam, kapitalisme, ekonomi, pelecehan
seksual, dan kasih sayang keluarga atau kekasih.
Puisi-puisi karya Moon
Changgil bertemakan kehidupan sehingga menganalisis menggunakan semiotik yang
mempelajari tanda-tanda yang ada pada sebuah karya sastra. Dalam buku puisi
karya Moon Changgil ini memiliki bab yang dinamai rangkuman, terdapat rangkuman
1 hingga 4 yang setiap rangkumannya menceritakan sisi “lain” negara Korea
Selatan. Rangkuman 1 tentang keluarga, cinta yang tak lagi bersama, kebiasaan
“minum” dan kehidupan para pekerja buruh seperti petani, nelayan, bangunan dan
sejenisnya yang pahit serta senantiasa berjuang untuk menghidupi kehidupan.
Terdapat puisi yang setiap katanya memiliki suasana imaji suara (auditif) dan
imaji penglihatan (visual). Contoh puisi “Ayahku”, sebagai berikut:
Ketika Ayah pergi ke
pabrik setiap pagi
Sambil menegakkan bahu
yang miring
Kami, istri dan anak
perempuan yang tersayang
Mendoakan
keselamatannya hari itu
Sambil melambai-lambai
tangan kecil tanda selamat jalan.
Demi Ayah yang
memegang alat las panas dengan kuat
untuk menyambung
kepingan hidup yang kelaparan
Ibu tergesa-gesa
menyiapkan makan malam
Sambil mengharapkan
Ayah cepat pulang. (Hal. 14)
Rangkuman 2 berisikan
puisi-puisi perang antar Korea Selatan dan Korea Utara. Perang Korea adalah
sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang terjadi sejak 25 Juni
1950 sampai 27 Juli 1953. Dari terjadinya perang tersebut mengakibatkan
terpisahnya antara Korea Selatan dengan Korea Utara hingga saat ini. Kendati
demikian, menyisakan sebuah kesedihan mendalam terhadap beberapa keluarga yang
berpisah akibat terpisahnya kedua negara. Tidak luput sebuah kekejaman yang
terjadi pada pelecehan seksual. Diksi-diksi yang digunakan pun pada puisi-puisi
yang terdapat dirangkuman 2 terasa lugas.
Sosial politik menjadi
pembahasan pada rangkuman 3 dan juga 4. Beberapa puisi terlihat satu kalimat
panjang tanpa tanda baca sampai puisi selesai. Seperti puisi “Bayangan”, “dalam
Gelap”, “Benteng”, “Sembari Menulis Sebuah Puisi”, “Di Hagung-ri, Tempat
Tinggalku Dulu 1 dan 2” serta “Bunga Terompet 1 dan 2”. Tidak hanya satu paragraf
panjang seperti satu tarik nafas panjang saja, melainkan juga satu kalimat
panjang dengan dua atau tiga paragraf. Seperti, “Aku dalam Cermin”, “Tarian
Angin”, dan “Bunga Azalea, pada April Itu”.
Secara keseluruhan
kumpulan puisi karya Moon Changgil yang di dalamnya terdapat beberapa tulisan
puisinya yang padat. Seolah memberitahu semua hal tentang sisi “lain” negara
Korea Selatan perlahan namun, menyeluruh menceritakannya kepada para pembaca.
Seakan-akan kita seperti didongengkan kembali pada masa peperangan, dampak dan
kekejaman dari peperangan tersebut. Maupun cerita kehidupan para pekerja buruh,
percintaan yang usai, dan kasih sayang keluarga.
Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api adalah sebuah kumpulan
puisi yang disadur ke dalam bahasa Indonesia. Judul dalam bahasa Korea yakni
Cholgili Hwimanghanuh Koteun yang pada tahun 2001 kumpulan puisi tersebut
menerima dana kreasi karya dari Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian
Korea.
Moon Changgil lahir di Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea
Selatan. Sudah melahirkan banyak karya berupa kumpulan puisi yakni salah
satunya Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bulguk Dokrip Seoshin) juga menerima
dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi (2019).
Selain dalam kumpulan puisi tunggal, puisi-puisi Moon
Changgil pun terbit dalam antologi bersama, antara lain Di Ujung Mata Ikan
(Mulkogi Kyotmun Soke Deun). Moon Changgil bergabung di Komunitas Sastra Buruh
Guro dan pada 1984-1990 di bagian sastra Persatuan Pemuda Perusahaan
Demokratisasi.
Lahirnya Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api
merupakan sebuah kumpulan puisi penulis korea asli yang kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia. Proses penerjemahan kumpulan puisi tersebut
dilakukan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo berperan
sebagai penerjermah karya-karya Moon Changgil dan bertindak sebagai penyambung
lidah antara Korea dan Indonesia.
Dilengkapi dan didukung Nenden Lilis Aisyah maka kumpulan
puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api dijadikan sebagai kesempatan untuk memperkenalkan
karya sastra Korea kepada pembaca Indonesia.
Kim Young Soo, pria berdarah Seoul, Korea yang telah
menyelesaikan studi S1 di Jurusan Bahasa Malay-Indonesia HUFS (Hankuk
University of Foreign Studies). Melanjutkan studi S2 yang ia tamatkan di Program
Kesusastraan Modern Indonesia (khususnya menyorot karya Pramoedya Ananta Toer)
HUFS. Adapun program S3 berhasil dituntaskan di jurusan Sastra Bandingan HUFS,
dengan disertasi berjudul A Study on Chairil Anwars’s Poems wih
Postcolonialistic View.
Kemahiran bahasa Indonesia yang sudah dikuasi Kim Young Soo
mengajak dirinya untuk menciptakan beberapa tulisan berupa buku terjemahan
Korea Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai kepala siaran Bahasa Indonesia,
Siaran Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan
kini berpusisi sebagai anggota Changjak 21.
Disempurnakan dengan Nenden Lilis Aisyah, Apa yang
Diharapkan Rel Kereta Api sudah bisa dinikmati oleh para pembaca Indonesia.
Nenden Lilis Aisyah, sosok wanita berdarah Garut, Jawa Barat Indonesia.
Berkecimpung di dunia sastra dengan menulis sajak, cerpen, dan esai yang dimuat
di berbagai media massa nasional hingga internasional.
Sejumlah karyanya terbit dalam berbagai antologi Kanon
Sastra Indonesia. Memiliki banyak karya dan prestasi yang memungkinkan Nenden
sering diundang untuk membacakan karyanya dan menjadi pembicara dalam
event sastra.
Selain menciptakan sebuah karya, Nenden Lilis Aisyah turus
serta menerjermahkan karya sastra mancanegara salah satunya ialah yang dijadikan
objek dalam tulisan ini yakni Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api dan kini
Beliau menjadi dosen di UPI Bandung.
Diciptakan oleh penulis yang luar biasa begitu juga dengan
hasil terjemahan yang sangat apik, Apa yang Diharapkan Rel Kereta
Api menjadi sebuah kumpulan puisi Korea yang bisa dinikmati oleh para
pembaca Indonesia. Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api mengangkat kisah masa
silam Korea yang mampu menambah wawasan terkait sejarah dunia.
Moon Changgil
adalah seorang penyair kelahiran Gimje, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan.
Moon dapat dikategorikan sebagai penyair angkatan 80-an karena beliau mulai
menulis puisi pada tahun 1984 melalui antologi Puisi Dure (Duresi Dongin). Pada
saat itu juga Moon bergabung dengan Komunitas Sastra Buruh Guro dan pada tahun
1984 sampai 1990 Moon masuk dibagian Sastra Persatuan Pemuda Perusahaan
Demokratisasi. Dua karya luar biasa Moon Changgil berhasil mendapatkan dana
bantuan, yakni pada antologi puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api
mendapatkan dana kreasi karya Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea pada tahun 2001 dan antologi puisi Amanat Kemerdekaan Negara Utara yang
menerima dana bantuan dari Yayasan Kebudayaan Kyonggi pada tahun 2019. Beliau adalah sastrawan yang tetap memperjuangkan sastra elit khususnya dalam bentuk puisi. Dia adalah Moon Changgil, seorang sastrawan yang ingin terus melestarikan sastra elit dan menghidupkan ruh kepedulian terhadap keadaan sosial-politik di Korea Selatan. aktif menulis, Moon juga aktif dibeberapa organisasi sastra di Korea, seperti
Moon memimpin kelompok Changjak21, mengelola majalah sastra Changjak21,
bergabung dalam Konferensi Pengarang Korea, Perhimpunan Penyair Korea,
Persatuan Pengarang Bangsa Korea, Lembaga Riset Kesusastraan Bangsa,
Perhimpunan Pengarang Goyang, dan Solidaritas Sosial Masyarakat Demokrasi
Goyang.
Buku antologi
puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api yang ditulis oleh Moon Changgil
diterjemahkan oleh dua orang hebat yang juga sama-sama mendalami dunia
kesusastraan. Kedua penerjemah tersebut adalah Kim Young Soo seorang laki-laki
berdarah Korea dan Nenden Lilis Aisyah seorang perempuan cantik asal Indonesia
yang berdarah Sunda. Kim Young Soo lahir di Seoul, Korea Selatan. Beliau
menyelesaikan studinya di Hankuk University of Foreign Studies. S1 dengan
Jurusan Bahasa Malay-Indonesia, S2 Program Studi Kesusastraan Modern Indonesia,
dan S3 Jurusan Sastra Bandingan. Kim Young Soo juga aktif menulis, beberapa
tulisannya adalah The Haecho's Journey: A Monk of Shilla's Kingdom Korea to
Sriwijaya Kingdom dan Indonesia Language Practice. Selain menulis Kim Young Soo
juga berhasil menerjamahkan sejumlah buku dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia
dan begitu pun sebaliknya. Berikut ini adalan beberapa buku yang telah
diterjemahkan oleh Kim Young Soo, Orang Suci, Pohon Kelapa karya Choi Jun, dan
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Kim Young
Soo juga pernah memegang jabatan Kepala Siaran Bahasa Indonesia, Siaran
Internasional, KBS (Korean Broadcasting System) selama 30 tahun, dan kini
berpuisi sebagai anggota Changjak21.
Sementara
Penerjemah cantik asal Indonesia berdarah Sunda, Nenden Lilis Aisyah lahir di
Garut, Jawa Barat, Indonesia. Beliau banyak menulis sajak, cerpen, dan esai
yang dimuat diberbagai media massa nasional dan internasional. Selain sebagai
seorang penulis beliau juga adalah seorang dosen yang selalu membagikan
ilmu-ilmunya kepada mahasiswa dan mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia di
Universitas Pendidikan Indonesia. Beberapa karyanya dimuat di berbagai antologi
kanon sastra Indonesia. Selama mendalami dunia sastra beliau telah meraih
beberapa penghargaan, seperti penghargaan dari Pusat Bahasa 2005 untuk kumpulan
cerpen Ruang Belakang. Terdapat beberapa karya beliau seperti kumpulan sajak
tunggalnya Negeri Sihir dan cerpen yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Mandarin. Selain itu beliau juga
sering diundang untuk membacakan karya-karyanya atau sebagai pembicara dalam
event sastra, seperti pada workshop cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara,
Festival de Winternachten di Den Haag Belanda, pembacaan sajak dan diskusi di
KBRI dan INALCO Paris (Prancis), Festival Puisi Internasional Indonesiadi
Teater Utan Kayu Jakarta, Festival Puisi Internasional Indonesia, Diskusi dan
Pembacaan Puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh Malaysia, Seminar di IPG
Malaysia, The 3rd Schamrock Festival of Women Poets di Jerman, dan lain-lain.
Selain sebagai seorang penulis, beliau juga berhasil menerjemahkan beberapa
karya sastra negara lain, seperti Antologi Puisi dan Prosa Langit, Angin,
Bintang, dan Puisi karya penyair Korea Yun Dong Ju yang berhasil diterjemahkan
bersama Prof. Shin Young Duk, PhD. Saat ini beliau telah mengeluarkan antologi
terbaru dengan judul Maskumambang Buat Ibu. (Aisyah, 2021: 115-116)
Penerjemahan karya
sastra merupakan salah satu gerbang masuk untuk saling mengenalkan kebudayaan
satu dengan yang lainnya. Namun, menerjemahkan bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Bahkan seorang pakar asal Rusia, Mikhail Rusnitzky menganalogikan proses
penerjemahan seperti seserorang yang harus membangun rumah di negara lain,
sementara di negaranya sendiri tidak ada rumah dengan arsitektur seperti
itu, bahkan seluruh kondisi alamnya pun sangat berbeda. Menurut Alfons ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang penerjemah, seperti
situasi sosial ekonomi, akses terhadap referensi, dan penghargaan orang
terhadap penerjemah dan hasil karya. Kualitas dari karya yang diterjemakan
menjadi tanggung jawab seorang penerjemah, karena seorang penerjemah harus
memindahkan bahasa tertentu ke bahasa sasaran dan terkadang bahasa tersebut
kurang mereka kuasai, selain itu bahasa ungkapan-ungkapan khas dan latar
belakang suatu karya yang berkaitan dengan kondisi sejarah, sosiologi, dan
budaya. Salah satu contoh penerjemahan yang dilakukan adalah menerjemahkan
karya sastra Korea ke dalam bahasa Indonesia (Herman, 2019). Hingga pada tahun
2003 didirikan KLTI yang pendanaannya didukung oleh Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Korea. Tujuan didirikannya KLTI adalah untuk mempromosikan dan
menyebarkan karya-karya sastra Korea ke seluruh dunia. Salah satu upayanya
adalah dengan menerjemahkan karya-karya korea ke berbagai bahasa lain, di
antarnya ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini telah terbit kurang lebih dua
buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hasil dari program
KLTI antara lain kumpulan cerita pendek Laut dan Kupu-kupu yang diterjemahkan
oleh Koh Young Hun dan Tommy Christomy, dan kumpulan sajak Puisi buat Rakyat
Indonesia yang diterjemahkan oleh Chung Young Rim (Hari, 2009). Seiring
dengan berjalannya waktu karya sastra Korea semakin banyak yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, seperti New York Bakery, Pasukan Buzzer, Shine,
Every Day is A Sunny Day When I Am With You, Fish in The Water, Kim Ji-Yeong,
Lahir Tahun 1982, Saha Mansion, Her Name Is..., Catatan Harian Sang Pembunuh
(Diary Of A Murderer), Bone, I'll Go To When the Weather is Nice, Ibu Tecinta,
dan lain-lain. Selain novel terdapat juga antologi puisi yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, seperti Langit, Angin, Bintang dan Puisi, Pesan Sang
Mentari, Orang Suci Pohon Kelapa, dan salah satunya adalah Apa yang Diharapkan
Rel Kereta Api karya Moon Changgil yang diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan
Nenden Lilis A.
Antologi Puisi Apa
yang Diharapkan Rel Kereta Api tersebut memuat 58 puisi yang terbagi menjadi 4
rangkuman. Setiap rangkuman memiliki tema yang berbeda. Rangkuman pertama
menceritakan tentang nasib masyarakat sebagai pekerja kecil seperti seorang
buruh bangunan, pekerja kasar harian, petani kecil, nelayan, dan sebagainya.
Dalam rangkuman pertama puisi-puisi yang ditulis oleh Moon Changgil merupakan
sebuah kritik terhadap kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Rangkuman kedua
bertema tentang unifikasi atau persatuan Korea. Mengingat sebagai akibat
dari adanya perang dingin menyebabkan Korea terbagi menjadi dua, yakni Korea
Utara dan Korea Selatan. Belum sempat menikmati kemerdekaannya dua negara
adidaya Amerika Serikat dan Uni Soviet mendarat di Semenanjung, karena
sebelumnya mereka telah membuat persetujuan berkaitan dengan pembagian
Semenanjung tersebut. Hingga akhirnya Korea Selatan dikuasai oleh Amerika
Serikat yang ideologinya lebih condong pada demokrasi-kapitalis. Sedangkang
Korea Utara dikuasai oleh Uni Soviet yang ideologinya condong pada ideologi
komunis. Sementara itu rangkuman ketiga dan keempat menggambarkan kehidupan
secara individu atau personal. Persoalan yang diangkat menyangkut berbagai
aspek kehidupan, seperti agama, norma hidup, keindahan alam,cinta, dan
lain-lain. Pusi-puisi yang ditulis pada rangkuman ketiga dan keempat banyak
menggunakan nuansa imajis.
Puisi yang dimuat
dalam antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api karya Moon Changgil hampir
90% bertemakan sosial-politik. Hal tersebut dikarenakan latar belakang penulis
yang peduli dengan keadaan sosial-politik di Korea Selatan. Moon ingin
menyuarakan dan memperlihatkan fakta yang sebenarnya terjadi dibalik
kegemerlapan kehidupan Korea Selatan yang selama ini orang-orang lihat. Di
balik merebaknya demam K-Pop dan K-Drama yang menyebabkan orang-orang memandang
Korea Selatan adalah negara yang makmur, mewah, dan sejahtera, namun ternyata
tidak sedikit penduduk Korea Selatan hidup dalam kesengsaraan yang hanya
bernasib sebagai pekerja kasar seperti seorang nelayan, buruh bangunan, pekerja
kasar harian, petani, dan lain-lain. Moon selalu mengajak masyarakat Korea
Selatan khususnya untuk terus membuat perubahan kearah yang lebih baik dan
antologi puisi ini adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Moon
Changgil untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Moon menjadikan pena sebagai
senjata untuk membantunya dalam berjuang mendirikan sistem kehidupan yang lebih
sejahtera bagi rakyat Korea Selatan. Puisi-puisi tersebut merepresentasikan
berbagai permasalah sosial yang tejadi di Korea Selatan di antaranya adalah
kemiskinan, hak asasi manusia, dan perpecahan yang terjadi antara Korea Selatan
dan Korea Utara. Seperti dilihat dari salah satu puisi yang berjudul
"Wanita Dari Ahnyang" bagaimana kehidupan seorang penjual ikan yang
harus berjuang mengumpulkan pundi-pundi uang demi menyekolahkan anak
laki-lakinya dan membelikan anak perempuannya piano. Sementara itu representasi
perjuangan warga Korea Selatan yang harus berjuang untuk hidupnya juga terdapat
dalam puisi yang berjudul "Pemandangan Gedung Koperasi Kredit". Di
dalam puisi tersebut digambarkan kehidupan tukang sampah yang menarik
gerobaknya, seorang anak yang harus bekerja dengan menyebarkan selembaran surat
kabar, dan seorang kakek pemilik toko yang harus membuka tokonya lebih pagi.
Tapi semua itu mereka kerjakan dengan penuh kesabaran dan semangat, mereka juga
seperti saling memberi semangat dengan sapaan yang dilontarkan setiap pagi.
Harapan adanya persatuan
dan kesatuan antara Korea Selatan dan Korea Utara juga disampaikan oleh Moon
dalam puisi-puisinya yang terdapat dalam rangkuman kedua. Bila dilihat, saat
ini Korea memang terbagi menjadi dua, yakni Korea Selatan dan Korea Utara.
Perpecahan Korea ini berawal dari kalahnya Jepang pada tahun 1945. Saat itu
Amerika Serikat dan Uni Soviet menduduki Semenanjung Korea dengan tujuan untuk
negara perwalin dan mempersiapkan kemerdekaan untuk negara tersebut. Amerika
Srikat menduduki Semenanjung bagian Selatan, dan Uni Soviet menduduki
Semenanjung bagian Utara. Di Selatan, Amerika mendirikan pemerintah militer.
Sedangkan di Utara Uni Soviet membangun negara Komunis. Perselisihan kedua
negara adidaya tersebut menyebabkan terjadiya perang saudara yakni antara Korea
Selatan dan Korea Utara. Kekacauan itu terjadi hingga saat ini dan hal tersebut
terbukti dengan terbaginya Korea menjadi dua bagian, yakni Korea Selatan dan
Korea Utara.
Moon Changgil
adalah seorang sastrawan sekaligus pencipta perubahan yang menyampaikan
aspirasi-aspirasinya melalui tulisan. Tulisan yang Moon ciptakan benar-benar
sampai ke dalam hati pembaca. Kemampuan Moon Changgil menggambarkan keadaan
dalam bentuk kata-kata sangat berhasil dan sukses sehingga pembaca dapat dengan
mudah berimajinasi dan membayangkan apa yang disampaikan oleh Moon dalam
tulisannya karena puisi yang ditulis oleh Moon Changgil didominasi oleh suasana
imajis. Pemilihan diksi yang lugas dan tegas dapat membangkitkan semangat
pembaca khususnya Bangsa Korea Selatan untuk terus menyuarakan keadilan, hak
asasi, persatuan dan kesatuan. Tak hanya masyarakat Korea Selatan yang dapat
menikmati karya-karya Moon Changgil, kini masyarakat Indonesia juga sudah dapat
menikmati karya-karya beliau karena antologi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis
A. Tak kalah indah dari karya asli, karya hasil terjemahan juga sangat indah
dan menyentuh. Menerjemahkan bukanlah hal yang mudah, namun kedua penerjemah
tersebut berhasil menerjemahkan karya Moon Changgil tanpa menghilangkan makna
asli dari karya tersebut. Pembagian kumpulan puisi menjadi empat rangkuman dan
berdasarkan tema dapat memudahkan pembaca dalam menikmati dan memahami
puisi-puisi tersebut. cover buku sangat aesthetik dan tidak terlalu color full
sehingga sangat relevan dengan isinya.
Antologi Apa yang
Diharapkan Rel Kerata Api menjadi sebuah ajakan yang digaungkan oleh Moon
Changgil. Beliau mengeluarkan senjatanya kemudian menorehkannya di atas kertas
mengajak seluruh penduduk Korea Selatan agar lebih membuka mata dan peduli terhadap
kondisi sosial-politik di Korea Selatan. Selain itu Moon Changgil juga ingin
terus melestarikan sastra elit yang hari ini mulai terlupakan dan kalah oleh
sastra populer. Buku ini sangat cocok bagi seluruh kalangan masyarakat,
khususnya bagi orang-orang yang menekuni dan menikmati kesusastraan baik
kesustraan Indonesia atau pun kesusastraan Korea.