KUMPARAN RASA MENYATU DALAM
KATA
Oleh Lilis Ernawati
Andai Tuhan jadikan kau sajadah,
di sinilah aku bersujud, andai Tuhan jadikan
kau Ibu, di sinilah aku mengadu. Andai Tuhan jadikan kau laut, di
sinilah aku berteriak, andai Tuhan jadikan kau cahaya, bersamamu aku ceria dan andai Tuhan jadikan kau saputangan, maka
kaulah yang akan menghapus air mataku.
Semua luka, semua bahagia, semua resah dan kegalauan tertumpah ruah
dalam kata. Hanya ini yang aku bisa. Selain sajadah, engkaulah tempatku
mencurahkan semua rasa. Selain Ibu engkaulah tempatku mengadu. Selain laut,
engkaulah tempatku berteriak. Selain cahaya, engkaulah yang memberiku terang. Selain
saputangan, engkaulah yang menghapus tetesan airmataku.
Petualanganku berawal dari sini. Adakah yang sama denganku ?
Menulis luar biasa pengaruhnya bagi hidupku. Karena dengan menulis aku
merasa hidupku terasa ringan. Maafkan aku lembaran putih, karena telah kuserahkan
semua beban hidupku padamu. Terimakasih lembaran putih, karenamu bahagiaku
terungkap lewat kata dan tulisan.
Aku terpuruk dalam luka yang begitu dalam, kugoreskan kata demi kata
mengikuti irama hati yang terus mengalunkan nada-nadanya dengan penuh perasaan.
Semakin lama, lembaran putih tanpa makna semakin penuh dengan kata yang
bersahaja. Takada malu, takada sungkan, kugoreskan terus satu demi satu
hurup-hurup yang tak bermakna merangkai sebuah cerita yang tak berkesudahan.
Resahku, membuatku kalang kabut, terduduk diam tak menentu, beraktivitas tak jelas yang dituju, bersenandung namun tak merdu. Dalam resah otakku seakan semrawut
dan ubun-ubunku bergolak menuju satu titik yang sulit untuk dipecahkan. Kutekan
tuts demi tuts keyboard laptopku. Kutulis semua yang kumau sesuai isi kepalaku.
Tak pernah kurencanakan apa dan bagaimana akhir kelelahanku menekan tuts-tuts
ini. Yang kuingin sekedar menumpahkan resah dan gelisahku di sini.
Menulis adalah sarana balas dendamku menumpahkan semua kegalauan yang
kurasakan kini. Melalui media laptop kuungkapkan semuanya, akan tetapi kamu
hanya diam, laptop. Tak berkutik apalagi
melawan, saat aku tekan dengan cepat dan kencang setiap hurup yang menutupi
tubuhmu.
Aku bahagia saat semua rasa tercurah di sana, entah bagaimana dengan
dirimu, aku tak perduli, yang penting aku bisa merangkai kata membuang semua
resah dan gelisahku tanpa mengorbankan
orang-orang di sekelilingku.
Satu demi satu sandiwara
kehidupan kuungkap dalam cerita. Lakon penuh kenangan kutuliskan tanpa
terasa. Semua catatan penaku kuisi dengan ruh-ruh penuh makna agar menjadi
kenangan di suatu masa saat aku tiada. Semua kerinduanku dan kerinduanmu
menyatu dalam surat cinta yang penuh makna. Menulis, adalah obat jiwa di saat
luka, menulis adalah obat kalbu dikala rindu, menulis adalah obat rasa dikala
ceria.
Walau ada sosok ibu tempatku mengadu, akan tetapi tak mungkin semua
risau, semua luka dan kepahitan hidupku ku ceritakan padanya. Aku ingin dia
tahu, anaknya bahagia dalam limpahan cinta yang luar biasa. Aku ingin dia tahu,
anaknya tertawa mengecap manisnya candu bahagia kehidupan yang fana. Biarlah
luka hati ini, kusimpan dalam goresan kata, biarlah risau rasa ini terbuncah
dalam ketukan jari-jari yang mengerti tanda, yang harus ibuku tahu hanya tawa
dan ceria yang tergambar dalam wajah bahagia.
Satu masa saat cinta terkhianati, aku terpuruk dalam luka hati yang tak
berkesudahan, hanya goresan pena yang terbuncahkan dalam dinding-dinding yang
tak berdosa. Kujadikan tembok bisu sebagai pelampiasan jiwa, kugoreskan kata
demi kata, ungkapan rasa yang terluka. Takada yang mengerti bagaimana jatuh
bangunnya aku membangun kepercayaan diri selain ungkapan kata dalam tembok bata
dan lembaran suci yang kini telah hilang
bersama bongkahan istana masa laluku, bersama lembaran kisah pilu di masa itu.
Dulu lembaran suci itu saksi bisu kebahagiaanku bersamamu, saksi resah
kerinduanku kepadamu, saksi pilu kesedihanku bersamamu, dan saksi luka
pengkhiatanmu kepadaku. Namun kini semua itu telah lenyap ditelan lembaran baru
penuh dengan rindu bersama jodohku. Aku di sini kini telah melupakanmu, walau
lembaran luka itu masih teronggok di sudut kalbuku, Namun aku berusaha untuk
membuangnya ke tempat yang seharusnya. Walaupun itu berat.
Bagaimana tidak, antara benci dan cinta seakan tak terhalang oleh masa.
Kamu yang telah meninggalkanku di pelaminan bahagiamu tanggal 7 April, menjadi tanggal yang menyakitkan hatiku.
Namun di sisi lain, suamiku berkelahiran dengan tanggal yang sama yaitu 7 April.
Bagaimana aku bisa melupakan tanggal tersebut. Tanggal yang telah Allah
tuliskan untuk orang pertama yang hadir di relung hatiku, yang telah menyakitiku dan orang
terakhir yang membahagiakanku hingga
kini dan hingga surganya nanti. Amin yra
Goresan pena takada hentinya melukiskan semua rasaku, banyak keajaiban Tuhan
yang kutuliskan melalui jemariku, … terlalu banyak, hingga aku tak kuasa menuliskannya satu
persatu, selain rasa syukur yang kuungkapkan lewat sujudku, menerima berkah-Mu
yang memberiku kuasa tuk menuliskan semua rasa dalam ayunan pena yang tak bosan
mengukirkan kata.
Suatu senja kala pertama kubertemu denganmu, takpernah ada rasa yang
tertanam dalam jiwa. Hanya tatapan penuh makna menyiratkan rahasia sang kuasa
hingga menyatukan dua insan dalam balutan asrama. Melalui goresan pena, kau
ungkap rasa, walau aku tak berdaya, akan tetapi kuberusaha tuk tetap membalasnya.
Menulis menjadi aktivitasku yang tiada membosankan. Karena mendapat kabarmu
adalah suatu kebahagiaan.
Tulisan demi tulisan yang menjadikan kenangan perjalanan cinta kita di
masa muda menjadi sejarah di hari tua. Karena tulisan itulah candu cinta dan asmara
semakin hari semakin erat mendekap rasa takterpisahkan. Aku dan kamu dalam
balutan cinta penuh makna dalam rangkaian kata yang tertuliskan dalam lembaran
suci dan gawai asmara.
25 tahun sudah perjalananku bersamamu, dalam suka dan duka. Terbayang,
jika harus dibukukan, berapa buku yang bisa aku tuliskan untuk mengungkap semua
lakon asmara kita berdua. Namun semua itu terukir indah dalam kumparan rasa
yang terus kita olah dalam kata yang bermakna, hingga kini. Walau hanya lewat gawai asmara.
Terbayang selalu, saat dulu kau bertugas di perbatasan bumi pertiwi ini,
hari-hari yang kau dan aku nanti adalah surat cinta ungkapan rasa, luapan rindu
yang bergelora. Kau ungkap semua rasa dalam kata-kata yang bermakna tanpa ada
dinding pembatas rasa, kau buang rasa malumu, kau buang rasa sungkanmu, kau
ungkap semua rindumu yang membuatku semakin mabuk cinta.
Akupun sama, sepertimu, kuungkap semua rasa lewat goresan pena yang
terus berbalas setiap minggu, takada bosan, takada lelah. Kuterus menantimu
disela-sela doaku yang selalu kupanjatkan agar selalu dalam lindungan Sang
Kuasa.
Kebahagiaan menerima surat cintamu, melebihi bahagianya aku di tanggal
muda saat menggesek ATM gajimu. Ternyata tulisanmu, adalah gairah hidupku. Ku
dekap erat surat cintamu, serasa kau yang ada dalam pelukanku.
Terimakasih Tuhan, karena berkahmu memberikan aku dan suamiku kemampuan
tuk menulis, rasa rindu kami bisa terlampiaskan, karena goresan pena itu pula,
rasa cinta kami, tidak sekedar nafsu belaka, akan tetapi selalu ada untaian doa
disetiap surat cinta agar segera dipertemukan lagi.
Aku di sini tetap menanti tulisanmu walau kini tidak melalui lembaran
suci lagi, aku di sini tetap menanti kehadiranmu melalui gawai cinta yang selalu berdering,
walau hanya sekedar bertanya, sedang apa? Kamu yang di sana tetap kurindu
disetiap waktu, kamu yang di sana menjadi sebuah cerita dalam goresan penaku.
Kutetap menantimu disetiap lengangmu, kutahu harapku dan harapmu bisa terus
bersatu, akan tetapi kita memiliki tanggung jawab melaksanakan tugas kita
mencari nafkah untuk anak-anak kita Tugasmu melaksanakan tugas Negara, sebagai
abdi bangsa tak menghalangi kita tuk selalu bercerita dalam tulisan gawai
asmara.
Semoga lelahmu menjadi barokah untuk kita semua. Biarlah goresan pena
ini menjadi kisah yang takakan hilang ditelan jaman, yang tak akan musnah
terkikis waktu.
Menulis adalah ungkapan kepenasaranku
tentang takdir Tuhan yang penuh dengan tabir rahasia, di mana aku dan kamu
memang telah dipersatukan sejak dalam buaian. Banyak hal yang tak kumengerti tentang suatu pertanda yang telah
tergoreskan sejak dini. Dia yang kini menjadi pendampingku seorang abdi negara
ber nrp 2910120030471. Nomor itu telah ada sejak dia disahkan menjadi prajurit,
sebelum aku mengenalnya dan diapun begitu adanya. Tulisan angka itu ternyata
menguak sebuah kisah yang suatu hari menyatukan kami dalam balutan asmara dihadapan
illahi.
2910 adalah tanggal di mana kamu memberanikan diri memintaku pada ibuku
setelah kami dengan tanpa sengaja di pagi itu berniat untuk saling menerima, mencintai
dan melindungi serta menitipkan diri kami dalam ikatan cinta sejati. 12003 jika
dibalik adalah tanggal lahirku, 3 desember dan 0471 adalah tanggal lahirmu. Ini
bukan suatu kebetulan. Namun ini sudah takdir Tuhan. Yang telah digariskan
dalam tulisan buku harianku dan harianmu.
Menulis adalah caraku menghabiskan waktu dan mengirit isi saku di masa
pandemic covid 19 ini. Karena menulis, aku kadang lupa jika harus memburu
diskonan yang sedang ada di supermarket. Karena menulis aku kadang malas, jika
harus sekedar menggosip dengan tetanggaku dan karena menulis aku menjadi
semakin berbobot akibat makanan ringan yang harus selalu tersedia di sampingku
saat menulis. He…he…
Menulis membuatku benar-benar hanyut dalam ruh imajinasi yang tiada
henti. Aku terhanyut dalam masa laluku yang seakan menggelayuti dan aku
semakin terbuai dalam kumparan kata yang
penuh arti.
Dari menulis aku banyak mimpi, dan dari menulis aku ingin berbagi semua
ilmu yang kumiliki agar bisa berarti di masa nanti.
Harapan itu semakin abadi saat Allah pertemukan dengan grup menulis PGRI
bersama Om Jay sang motivator sejati dan kawan-kawan para penulis yang
berambisi mengisi hari agar tak habis di telan sunyi.
Menulis membuatku mengerti, jika tak semua hal bisa kita mengerti.
Menulis membuatku tahu jika imajinasi bisa menjadi bukti diri, Selamat menulis,
semoga bermanfaat dan menjadi terapi diri agar semakin bijaksana dalam meniti
hidup ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar