Pengikut

Sabtu, 01 Januari 2022

Tantangan Menulis 365 Hari, hari ke-2, Setu Pagam

 Setu Pagam yang Merindukan Belaian


Minggu, 2 Januari 2022
Hari ini cuaca cerah, kayaknya asyik jika bisa berjalan-jalan keliling kampung ini. Kampung yang baru kudatangi 2 hari lalu, bersama anak bungsuku. Di Kampung ini suamiku bekerja, Pusdiklat Badiklat Kemhan RI,  jauh dari hiruk pikuk suasana kota, akan tetapi udaranya panas luar biasa, padahal kampung ini  terletak di Kabupaten Bogor yang terkenal sebagai kota hujan tepatnya di desa Cibodas Kecamatan Rumpin.

Perjalanan menuju kampung ini, cukup melelahkan. Jika menggunakan kendaraan sendiri bisa ditempuh dalam waktu 90 menit. Namun jika menggunakan kendaraan umum bisa sampai 3 jam. melelahkan bukan? selain itu kendaraannyapun susah. Jika dari Ciputat bisa naik angkot jurusan parung dengan ongkos  kurang lebih Rp 6.000,- , lalu sambung lagi naik angkot jurusan nyungcung  dengan ongkos Rp 10.000,-. Nah sampai Nyungcung kita harus naik ojek lagi Rp20.000,-. Lumayankan, dan perlu diingat, kalau kita kesorean otomatis perjalanan akan gelap gulita, seraaaaam dan menakutkan.

Saat melewati daerah nyungcung, kita akan bertemu dengan sebuah bukit yang bentuknya seperti tumpeng, nyungcung begitu. Daerah ini jalanannya semrawut dengan truk-truk pengangkut pasir dan kerikil karena di sepanjang Nyungcung itu terdapat kegiatan penambangan pasir dan kerikil. 

Dengan fasilitas jalan yang tidak terlalu  lebar, aspal  tipis dan jalanan yang naik turun, di siang hari debu-debu beterbangan, membuat semakin tidak nyaman untuk jalan-jalan.
setelah melewati turunan yang cukup curam, maka kita akan sampai di desa Cibodas. Desa yang masih jarang dihuni penduduk ini, kondisi rumahnya masih belum beraturan, ada yang dipinggiran jalan, pinggiran perkebunan karet ada juga yang di tengah perkebunan kebun karet tersebut. Bagi saya sebagai seorang pendatang, rasanya tak berani jika harus sendiri melewati perkebunan karet ini. 

Di daerah ini, setiap rumah jika tidak memiliki kendaraan, akan sulit melakukan perjalanan, karena tidak ada angkot yang lewat, selain ojek-ojek yang masih jarang dan sulit kita jumpai. Makanya sebagian besar mereka memiliki kendaraan. Namun tingkat keamanannya masih sangat mengkhawatirkan, karena di daerah ini saya jarang melihat orang menggunakan helm. Bahkan ada beberapa anak di bawah umur yang naik motor kebut-kebutan

Disela penantian untuk mengikuti Family Gathering, saya berkeliling kampung dengan anak bungsu menuju pasar Gobang. Saya kurang mengerti mengapa pasar tersebut dinamakan Pasar Gobang, karena menurut istilah di KBBI, gobang itu sendiri memiliki tiga arti yaitu pedang, uang tembaga bernilai 2,5 sen  dan uang benggol. Seandainya arti gobang di sini sebagai pedang, apa mungkin daerah ini dulunya sebagai pembuat pedang, ataukah pernah ditemukan pedang ditempat itu, ataukah di pasar ini terdapat penjual gobang? saat ini saya belum bisa menjelaskannya. Namun suatu hari nanti, saya berjanji akan dapat jawabannya. 





Duh..... pasarnya kurang rekomended banget, gak komplit. Gak seperti di tempatku, walaupun pasar tradisional tapi komplit. Ini semacam pasar darurat kalau di daerah kami, tapi mau bagaimana lagi, adanya hanya ini. Saya membeli kebutuhan dapur seperlunya.

Namun saat hendak pulang, si bungsu ingin membeli rambutan dan durian. Saat ini di Cibodas Rumpin sedang musim rambutan dan durian, sehingga hampir di setiap rumah menjajakan rambutan dan durian, karena mereka memiliki pohonnya di sekitar rumah.
Saya membeli beberapa tangkai rambutan dan satu durian, sekedarnya saja untuk kami makan bertiga. Sebelum pulang saya dan si bungsu sengaja mampir ke Setu Pagam, karena kata suami di sini tidak ada objek wisata selain Setu Pagam. Kami penasaran dan melanjutkan perjalanan ke arah Setu Pagam. Jika dari Pasar Gobang, lurus terus arah pulang ke Pusdiklat Belanegara, nanti saat ada perempatan jalan kita ambil jalan ke arah kanan, lalu ikuti jalan tersebut sampai ujung. Ehhm.......sepi...sepanjang perjalananya. Saya seperti masuk dalam dunia sinetron, berada di tengah-tengah perkebunan karet yang rimbun, melewati jalan setapak yang bisa dilewati oleh kendaraan roda empat, kemudian tiba-tiba ada penculikan..waah....... takut kalau membayangkan seperti itu. Di sela-sela ketakutan dan rasa penasaran, kami susuri jalanan ini sambil terus berdoa.
Sesampainya di Setu Pagam, saya dan sibungsu tersenyum puas, karena bisa sampai juga. Namun saya bilang,  "kita tidak lama yah di sini, takut". 
Setu Pagam merupakan Setu yang terhubung ke Sungai Cisadane. Sepanjang mata memandang, kulihat kejernihan air setu yang bersih, tidak seperti di tempat lain yang sering bertebaran sampah-sampah di pinggiran setunya. Mungkin karena sudah lama tak dijadikan sebagai tempat wisata.    
Di setu ini takada tempat mainan ataupun tempat makan, hanya ada beberapa orang laki-laki yang sedang memancing di bawah terik matahari. di ujung kanan sana, ada beberapa perahu bebek-bebekan yang tertelungkup. Sepertinya tempat ini suka dipakai untuk tempat wisata dulunya , akan tetapi saat pandemi datang, menjadi sepi. 



Setu Pagam, butuh penanganan orang bertangan dingin agar bisa disulap menjadi objek wisata dengan destinasi yang menyenangkan. Karena jika dilihat-lihat tempat ini di dukung oleh perkebunan karet, asyik untuk digunakan berkemah, out bond, rakit-rakitan atau dibuat anjungan-anjungan  untuk tempat santai-santai acara keluarga.

Setu Pagam butuh belaian, semoga di waktu yang akan datang bisa lebih menjanjikan keindahan dan kemajuan sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat di sekitar lokasinya. Dan perjalanan ke arah Setu Pagam tidak menakutkan lagi.
Kami kembali ke rumah dinas Pusdiklat Belanegara dengan tergesa-gesa, di jalan bertemu dengan laki-laki yang senyum-senyum dan di tengah perkebunan karet itu terdapat gubug-gubug begitu, eeehhhm........rasanya gimana gitu. Maklum korban sinetron, jadi kalau melihat dan mendengar sesuatu suka disangkut pautkan dengan film. 



 Sesampai dirumah, saya  melanjutkan aktivitas  sebagai ibu rumah tangga yang harus masak dan beres-beres rumah, agar saat suami pulang menjadi senang dan nyaman.
Sementara suami masih sibuk dengan aktivitasnya di kantor mempersiapkan rencana kegiatan family gathering besok.

Tak terasa waktu dhuhur tiba, suara adzan  di gawai  mengingatkan untuk segera bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban lima waktu. Namun, di luar sana, takada suara adzan berkumandang. Desa Cibodas, bagi saya terasa janggal karena  di tempat ini tidak ada suara adzan di setiap mesjid, hal ini membuat suasana daerah ini terasa sunyi dan agak seram. Karena menurutku jika ada suara adzan berkumandang, ada suara pengajian di setiap mesjid, suasana menjadi hangat dan betah didiami. 
Adat untuk tidak adzan dikumandangkan, apakah memang tak bisa diubah seiring dengan kemajuan jaman? semoga ke depannya daerah ini semakin maju dan menyenangkan.

3 komentar:

  1. Iya ,saya setuju kalau itu di bangun tempat wisata ,cuman mungkin untuk itu .tentu ibu memberi gan pada bapak untuk mengajukan nya ke team pemerintah setempat .dari kecamatan,kabupaten karena itu betul aset yang akan mendatangkan masukan bagi pemerintah setempat .ya awalnya mungkin dari si bapak tugas di daerah tersebu .ini sekedar masukan saja ,terima kasih salam leterasi dan semoga sehat serta sukses selalu .di tempat baru 👍

    BalasHapus
  2. Mesti diselidiki Bu knpa gk ada adzan?

    BalasHapus
  3. Atau mungkin masjidnya tidak ada pengeras suaranya bu..
    Hehee.. mengira - ngira saja..

    BalasHapus

fiorentia viviane lesmana