Pengikut

Kamis, 24 Februari 2022

Ketika Gawai Mengalahkan Moral

Pengertian gawai menurut ahli

Widiawati, Sugiman, dan Edy (2014) yang mengatakan bahwa gawai merupakan barang canggih yang diciptakan dengan berbagai aplikasi yang dapat menyajikan berbagai media berita, jejaring sosial, hobi, bahkan hiburan.

Gadget dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis 

Gadget atau dalam Bahasa Indonesia gawai adalah suatu peranti atau instrument yang memiliki tujuan dan fungsi praktis yang secara spesifik dirancang lebih canggih dibandingkan teknologi yang diciptakan sebelumnya. Gadget baik laptop, ipad, tablet, atau smartphone adalah teknologi yang berisi aneka aplikasi dan informasi mengenai semua hal yang ada di dunia ini.

Gadget selalu diartikan lebih tidak biasa atau didesain secara lebih pintar dibandingkan dengan teknologi normal pada masa penemuannya. Gadget merupakan salah satu teknologi yang sangat berperan pada era globalisasi ini. Sekarang gadget bukanlah benda yang asing lagi, hampir semua orang memilikinya. Tidak hanya masyarakat perkotaan, gadget juga dimiliki oleh masyarakat pedesaan

Di era serba modern ini, gadget atau  gawai merupakan kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan. Semua orang membutuhkannya, hingga membeli pulsa bisa mengalahkan kebutuhan mengisi perut. 

Kemajuan digital jika tidak dibarengi dengan kemampuan menyeleksi, akan menjerumuskan setiap insan menjadi pribadi yang egois dan tak tahu diri. 

Namun sebaliknya jika kita tahu cara memanfaatkannya, maka gawai akan membuat kita semakin hidup, karena dengan gawai mendekatkan yang jauh dan memudahkan mencari ilmu. 

Tapi kadang, gawai bisa menjadi momok yang menakutkan bagi pasangan yang memanfaatkannya untuk perselingkuhan. Karena gawai, membuat orang menjadi mudah melakukan kekerasan. Dan karena gawai pula kebohongan mulai timbul, demi nafsu syetan yang berusaha menghembuskan rayuan-rayuan gombalnya.

Gawai menjadi candu bagi anak bangsa, saat permainan-permainan online dimainkan tak kenal waktu. Lupa makan, lupa belajar, lupa mengaji bahkan lupa mandi.

 Gawaipun menjadi arena judi yang tidak bisa dibendung seperti halnya dulu, saat togel merajalela, saat gaplehan menjadi pengisi luang, bisa dengan mudah dibubarkan oleh aparat setempat. Namun kini siapa yang bisa menangkapnya, setiap orang memiliki privasi dengan gawainya.

Dan baru-baru ini karena gawai, seorang santri berani membunuh gurunya. Naudzhubillahimindzalik. Kemana tatakromomu nak, mereka adalah pengganti orangtuamu di sekolah, di pesantren. Di mana rasa hormatmu kepada orangtua yang telah membesarkan dan mendidikmu dengan ilmu.


https://www.tribunnews.com/regional/2022/02/23/4-fakta-santri-bunuh-ustaz-di-samarinda-pelaku-mau-ambil-ponsel-dan-dilakukan-usai-korban-salat Download aplikasi Tribunnews untuk update berita terbaru Dapatkan untuk Android: https://bit.ly/30Qi46k

Ternyata kali ini gawai telah melibas etika dan moral yang harusnya dimiliki seorang murid terhadap gurunya. miris sekali, perkembangan teknologi membuat anak-anak harapan bangsa menjadi manusia yang tidak bermoral dan tidak berkemanusiaan.

Ini semua merupakan tugas kita sebagai orangtua dan pendidik yang harus membatasi penggunaan gadget/gawai sesuai dengan kebutuhannya.

Jangan sampai orangtuanya sendiri yang malah memberi contoh penggunaan gadget yang tidak sesuai dengan kebutuhannya, sehingga akibat gadget orangtuanya sering terjadi percekcokan bahkan kekerasan rumah tangga.

Seharusnya seorang siswa memiliki etika yang baik terhadap gurunya seperti yang dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim.


Etika Murid Terhadap Guru 

Metode dalam Ta’lim bukan hanya dinamakan dalam aktivitas ceramah, diskusi, resitasi dan semacamnya yang lebih mengedepankan pencapaian “kecerdasan intelektual” sebagaimana sering dipahami di zaman ini. Metode dimaknakan lebih jauh, yaitu pada cara pencapaian “kecerdasan emosional yang religius”, sehingga dapat memangun watak perspektif ini, maka akhlak baik yang dimiliki oleh subyek didik termasuk bagian dari wacana metode. 

  1. Etika Murid terhadap Guru dalam kitab Ta’lim Muta’allim Dijelaskan dalam kitab Ta’lim Muta’allim bagi setiap pelajar sebaiknya mempunyai etika terhadap gurunya. Karena begitu tinggi penghargaan itu sehingga menerapkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi. Agar siswa bisa memuliakan gurunya. (Az Zarnuji: 91). Maka sebaiknya seorang murid diperlukan internalisasi sikap wara’ dalam beretika terhadap guru, sikap ini akan menjadikan ilmu yang didapat mempunyai berdaya guna lebih banyak. Di antara sikap Wara’ adalah:               

  • Menghindari rasa kenyang.                                                                                                        
  • Menjaga diri dari dari kebanyakan tidur.                                                                                       
  • Menjaga diri agar tidak terlalu banyak bicara yang tidak bermanfaat.                                          
  •  Menjaga diri dari ghibah (memberikan kejelekan orang lain                                                     
  • Menjaga diri dari perkumpulan yang isinya hanya gurau. Perkumpulan semacam itu hanya akan mencuri umur, menyianyiakan waktu.                                                                                    
  • Menjauhkan diri dari orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan maksiat. Sebaiknya siswa hendaknya berdekat-dekat dengan orangorang sholeh (pada bait lain, Az Zarnuji juga menyampaikan bahwa maksiat menghambat proses hafalan). 
  • Rajin melaksanakan perbuata-perbuatan baik dan sunah-sunah Rasul. 
  • Memperbanyak shalat sebagaimana shalatnya orang-orang khusyuk. 
  • Selalu membawa buku dalam setiap waktu untuk dianalisa. 
2. Para siswa dinasehatkan dan dibekali dengan petunjuk, yang terpenting di antaranya adalah: 
  • Seorang murid harus membersihkan hatinya dan kotoran sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah semacam ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan bersih hati. 
  • Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan un ntuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegahmegahan dan mencari kedudukan. 
  • Dinasehatkan agar para pelajar tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan supaya merantau. Sesuai dengan itu pula Al ‘Abdari pun menasehatkan para seorang murid agar jangan mengganggu guru dengan banyak pertanyaan bila ternyata bahwa ia tidak suka dengan demikian.
  • Jangan berlari dibelakangnya jika di jalanan. Dalam kitab Ta’lim Muta’allim telah dijelaskan bahwa seorang murid itu harus patuh kepada guru, dan dalam hal ini Az Azarnuji berkata, sebagian dari kewajiban para murid ialah jangan berjalan di depan guru, jagan duduk di tempat guru, dan jangan berbicara kecuali sesudah meminta ijin dari guru. (Fahmi, t.th: 174-175).

Adapun sikap murid terhadap guru antara lain adalah penghormatan dan pengahargaan kepada ilmu dan guru. Az Zarnuji tidak menjadikan keduanya analistik, sebagaimana ia juga tidak memisahkan antara intelektualitas pendidikan dan spiritualnya. 

Seorang murid tidak dibenarkan hanya menimba intelektualitas seseorang, tetapi hak yang melekat padanya ditelantarkan. Pendidikan mempunyai dasar “hak atas karya intelektual” yang pantas dihargai dengan sikap pemuliaan dan penghargaan material. Etika murid terhadap guru dalam perilaku taat pada perintah dan menjauhi larangan-Nya selama masih dalam koridor kepatuhan kepada Allah, bukan sebaliknya. 

Tampilan rinci lain lebih mengarah pada “budi pekerti” yang di masa sekarang perlu ditegakkan, tetapi berangsur luntur. “Barang siapa berkeinginan anaknya menjadi ilmuan, maka sebaiknya ia bersedia untuk merawat, memuliakan, memberi sesuatu dan mengagungkan ahli”. (Az Zarnuji, t.th: 17). 

Dalam kitab Ta’lim Muta’allim menjelaskan bahwa “keberhasilan seseorang tergantung dari penghormatannya, kegagalannya adalah karena meremehkannya”. Sesunguhnya bagi seorang murid yang baik, agar mendapatkan ilmu dari gurunya hendaknya mempunyai etika yang baik di setiap menerima, mendengarkan, mengerjakan apa yang disampaikan gurunya dan jangan sekali-kali sebaliknya (meremehkan guru). 

Selanjutnya seorang pelajar juga harus bersikap rendah hati pada ilmu dan guru. Seorang murid juga harus mencari kerelaan guru, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan ia murka, mematuhi perintahnya asal tidak bertentangan dengan agama. 

Dengan cara demikian ia akan tercapai cita-citanya. Ia juga harus menjaga keridhaan gurunya. Ia jangan menggunjing gurunya. Dan jika ia tidak sanggup mencegahnya, maka sebaiknya ia harus menjauhi orang tersebut. 

Selanjutnya seorang murid hendaknya tidak memasuki ruangan kecuali setelah mendapat izinnya. Seorang pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru. Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil,  mereka ketika menuntut ilmu sangat menghormati tiga hal tersebut. Dan orang-orang yang tidak berhasil dalam menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati atau memuliakan ilmu dan gurunya. Karena ada yang mengatakan bahwa menghormati itu lebih baik daripada mentaati. (Az Zarnuji, t.th: 16). 

Az-Zarnuji mengatakan bila seorang murid lebih menghormati seorang guru itu menaikkan tingkat ketakwaan kepada Allah SWT sangat tinggi, ketinggian beretika terhadap guru, pada orang lain yang lebih tua, apalagi kepada Allah SWT dalam ketakwaannya semakin meningkat maka Allah akan mengangkat harkat dan martabatnya. sangatlah penting seorang murid menghormati, menghargai, rendah hati, dan tidak menyakiti hati gurunya. 

Hal ini ditegaskan agar murid nantinya benar-benar mendapat ilmu yang berguna serta bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. 

Hubungan Murid dan Guru 

Az Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’allim berpendapat tentang persoalan hubungan guru dan murid, menganggap guru sebagai elemen terpenting dalam pembelajaran. Karena guru harus dihormati dan diikuti tidak boleh dibantah atau disanggah sedikitpun. 

Menurut Az Zarnuji berpindah ilmu dengan berpindah guru atau tempat dapat mengakibatkan ketidak berkahan membuat waktu sia-sia dan dapat menyakiti hati seorang guru. Az Zarnuji menyebut hal ini sebagian bentuk dari ketidakpahaman dan ketidaksabaran serta hawa nafsu. 

Tentang hubungan guru dan murid adalah bahwa guru memiliki kedudukan yang sedemikian rupa, sehingga murid harus menghormatinya dengan sedemikian rupa pula. 

Syaikh Sadiduddin Asy Syairozi, menceritakan nasehat dari gurunya “siapapun yang menghendaki anaknya menjadi seorang alim, maka hendaklah ia memelihara, menghormati, rendah hati dan memberikan sesuatu kepada ahli agama”. 

Andaikata hukum anaknya yang alim pasti cucunya yang akan menjadi alim. Karena itulah, siapapun yang menyakiti hati gurunya maka ia tak akan mendapat kemudahan dalam berilmu dan hanya sedikit ilmunya yang berguna. 

Sesungguhnya guru dan dokter keduanya tidak akan menasehati kecuali bila dimuliakan. Maka rasakan penyakitmu jika pada dokter, dan terimalah kebodohanmu bila kamu membangkang pada guru. (Az Zarnuji, t.th: 18). 

Pendidikan Islam mewajibkan kepada setiap guru untuk senantiasa mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu, tetapi senantiasa membutuhkan etika yang baik di kalangan pelajar dapat dilakukan dengan latihan-latihan berbuat baik, berkata benar, menepati janji, ikhlas dan jujur dalam bekerja dan menghargai waktu. (Daudy, 1986: 62)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fiorentia viviane lesmana