MENULIS ITU MENGASYIKAN
s.id/kanal satuguru
Rencana Tuhan Takada yang Tahu
Menulis
itu mengasyikkan.
Itu
yang diungkapkan oleh mereka yang sudah cinta menulis dan terbiasa berasyik
masyuk dengan tulisan serta mengetahui manfaat menulis
Menulis
itu mengasyikkan?
Benarkah?
Itu
yang menjadi pertanyaan sekelompok orang yang merasa jika menulis itu merupakan
pekerjaan yang membebani. Karena mereka sebagian besar merasa bingung tentang
apa yang harus mereka tulis di awal tulisannya.
Menulis
adalah aktivitas yang asyik jika sudah mengerti caranya. Tapi menakutkan bagi yang
belum biasa. Apalagi bagi anak sekolahan, mahasiswa bahkan guru sekalipun
kadang menulis itu menjadi beban tersendiri.
Bagiku
menulis adalah obat dikala sedih, senang, galau dan merana, writing
is healing. Karena melalui tulisan aku bisa mengungkapkan semua cerita
hidupku. Dan karena tulisan aku bisa meninggalkan jejak masa laluku yang
mungkin bagiku biasa saja akan tetapi bagi orang lain luar biasa.
Aku
akan buktikan jika menulis itu mengasyikkan, karena saking asyiknya aku bisa
menyelesaikan naskahku hanya dengan sekali duduk saja. Kuawali kata-kata awal
dengan latar suasana dan waktu.
Kubuka
lembaran lama, saat aku terpuruk dalam duka dan nestafa. Ini merupakan langkah
awal aku memutuskan menjadi seorang guru.
Saat
itu, anakku, bidadari kecilku yang baru berusia 18 hari, tiba-tiba batuk.
Anakku yang ketiga ini lahir normal dengan berat badan 3,3kg dan panjang badan
52cm. Dia berkulit putih, dengan mata sipit dan muka bulat, persis seperti
nenek mertuaku. Selama kehamilannya, aku
bisa melaksanakan semua aktivitasku tanpa gangguan, baik itu kegiatan di kantor
suamiku, ibadahku bahkan puasakupun full 1 bulan.
Bidadari
kecilku belum sempat di vaksin 7 hari karena bidannya sedang sibuk kuliah di
Tasikmalaya. Sementara daerah kami saat itu masih jarang tenaga medis selain
satu bidan desa dan tenaga kesehatan di kantor suami. Aku terpaksa menunggunya.
Karena aku pikir ke kota Garut lumayan jauh. Saat tenaga kesehatan ke
rumah, tepatnya hari kamis mereka bilang
batuk biasa saja. Sehingga aku tidak khawatir.
Hari
Kamis 5 April 2007, kompi suamiku harus
berjaga di batalyon. Namun, malam itu mati lampu. Udara di ksatriaan 303 cukup
dingin, apalagi jika kami tidur tanpa lampu penghangat ruangan. Karena mati
lampu, takada lampu penghangat ruangan selain lilin. Kuselimuti anakku dengan
selimut dua lapis. Dia diam saja, seperti tertidur nyenyak. Tapi aku heran, dia
tidak meminta asi. Padahal biasanya dia cepat lapar. Diluar suara burung malam bersahutan,
menambah seramnya malam ini, apalagi ini malam jumat. Horror banget rasanya.
Anak-anakku
Gita, Sutan dan si kecil Dede Faiqa tertidur pulas. Kantukpun menyerangku, dan
tak terasa, mataku mulai tertutup. Tidur dengan nyenyak.
Pagipun
tiba. Aku heran, anakku yang kecil tak bersuara, kakinya sudah lemas saat
suamiku pulang. Aku minta suamiku memanggil orang kesehatan dan MakYayah,
paraji yang biasa membantu melahirkan. Saat MakYayah datang, beliau kaget. Dan
meminta segera dibawa ke rumah sakit. Saat anakku kugendong, tiba-tiba badannya
melintir seperti pakaian yang diperas mau dijemur, dan berwarna biru. Aku berteriak histeris,
karena takut terjadi sesuatu pada anakku.
Ambulanpun
tiba. Kami berangkat ke rumahsakit Guntur yang jaraknya -/+ 45km. Sesampai di
rumahsakit, Dede Faiqa segera ditangani. Dan saat siang tiba, dokter bilang
jika masa kritisnya sudah lewat. Aku sedikit lega. Akupun segera mandi, karena
daripagi belum mandi. Setelah mandi, dokter bilang Defaiqa bisa dipindahkan
keruangan bayi. Sesampai di sana, DeFaiqa kembali melintir badannya, biru
seluruh badannya. Aku berlari terbirit-birit menuju ruang UGD, tak kuhiraukan
sakit bekas melahirkanku. Suamiku sedang membeli perlengkapan ke supermarket.
DeFaiqa
kembali dibawa keruang bayi, disiapkan alat pemacu jantung, kemudian disuntik
antibiotic. Kasian sekali, anakku yang gemoy harus sudah mendapat suntikkan dan
bantuan pemicu jantung. Namun Allah telah menuliskan takdirnya. Gadis kecilku
dalam dekapanku melepaskan ruhnya. Kulihat ada warna biru dibalik kulitnya yang
putih, berjalan mulai dari kaki terus menuju ke atas, dan…anakku, …
bidadariku,…gadis kecilku,…pergi untuk selamanya. Aku hanya diam, sementara
suamiku terus mengaji sambil meneteskan airmata.
Hanya
20 hari aku bisa menikmati kebahagian bersama gadis kecilku yang kini telah
terbaring dalam pangkuan illahi robby di tanggal 6 April 2007, sehari sebelum
ulangtahun bapaknya. Kepedihanku telah mengakibatkan mentalku sakit. Jiwaku
sakit. Ragaku sakit. Sebulan aku tidak bisa berbicara. Dan didiagnosis terkena
leukimia. Selama tiga bulan, aku mengkonsumsi obat leukimia sehari 33 butir, 11 pagi, 11 siang dan 11 malam. Dan
dua minggu sekali aku harus kontrol ke Rs Dustira Bandung.
Hingga
suatu hari datanglah temanku dan mengajak kuliah, agar aku tidak bersedih
terus. Awalnya aku ragu. Karena kegiatan suami yang begitu padat, kondisiku
yang sakit dan anak-anakku yang butuh perhatian. Belum lagi ijin dari suamiku,
pasti sulit. Karena dia pasti khawatirkan kondisiku. Aku masih ingat, saat itu
bulan Juni 2007, aku mulai masuk kuliah. Tak pernah kupikir jurusan yang ingin
kuambil. Aku hanya mengikuti temanku, Ibu Lilis Misgiyono, ternyata dia kuliah
jurusan Bahasa Indonesia. Aku berusaha mengikuti kegiatan perkuliahan dengan
serius. Walaupun suamiku sering melarangku setiap akan berangkat kuliah. Bukan
karena tidak mau aku maju, akan tetapi suamiku takut aku dijauhi teman-teman
atau kecapean karena kuliah, sehingga sakitku semakin parah.
Bulan
Oktober 2007 aku ditawari untuk mengajar
di salah satu MTs di Cigedug, Mts Daruttaqwa namanya. Aku terima saja padahal
saat itu sekolah tersebut baru berdiri. Dan guru-gurunya kadang diberi honor
kadang tidak, karena sekolah ini, sebagian siswanya dari golongan kurang mampu
sehingga kami mengajar benar-benar ikhlas beramal. Waktu terus berlalu,
kesibukanku telah membuatku lebih bisa menguasai diri dan mengikhlaskan
kepergian anakku. Kujalani perkuliahan dari tahun 2007 hingga 2010. Aku bisa
menyelesaikan kuliah dengan cepat, walaupun awalnya tertinggal. Dan di tahun
2010 Desember, aku bisa daftar untuk mengikuti penataran PPG. Dan Alhamdulillah
tahun 2011, aku bisa ikut PPG, tepatnya bulan September 2011. Namun saat itu
aku baru memiliki bayi, yang berusia 3
bulan. Dan dengan terpaksa, PPG kujalani dengan membawa bayi kecilku dan
pengasuhnya. Alhamdulillah 2 minggu PPG dijalani dengan lancar.
Namun,
masalah timbul, saat yang lain cair sertifikasinya, punyaku tidak, hingga 3 tahun lamanya. Berulang kali kutanya
ke Depag, tapi jawabannya sabar dan sabar saja. Hingga akhirnya aku terpaksa
berangkat sendiri ke Jakarta untuk mengurusnya. Dan hanya seminggu setelah itu
sertifikasiku cair, hanya gara-gara NUPTK kurang satu angka saja. Aku bersyukur
bisa menikmatinya, taklupa kuberbagi pada teman-teman di sekolah dan
saudara=saudaraku.
Ternyata,
kepergian anakku, menjadi perubahan jalan hidupku, yang awalnya tak pernah
terbersit sedikitpun untuk bisa menjadi guru karena kegiatan kantor suamiku
yang padat, ternyata Allah tunjukkan jalan lain untukku berbagi ilmu dan
pengetahuan. Alhamdulillah terimakasih Ya Allah, terimakasih Ibu, bapak, ibu
mertuaku (almarhumah}, suamiku sayang, anak-anakku, adik-adikku dan semua yang
telah mendukungku dan menyemangatiku dari keterpurukan hingga bangkit kembali.
Selayang
Pandang
Lomba yang pernah diikuti adalah Juara dua ngeblog cerpen “Rumahku Istanaku” dan Juara
1 ngeblog bersama AISEI cerpen “Kasih Sayang Guru Terhadap Anaknya”, juara Harapan di TBM Kinanthi cerpen “Panggil
Dia Ibu” serta juara harapan di lomba menulis blog “Penamrbams.” Dan sekarang aktif menjadi
moderator di kelas online yang diadakan oleh PGRI di bawah naungan Bapak
Wijayakusuma. Email. Ernawatililis433@gmail.com,
blog https://guruuningabersamabulieze.blogspot.com,
http://lilisernawati083124.gurusiana.id/
WA. 089695353202.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar