Sambungan.....
Hari kedua
aku ikut bantu beres-beres di warung paman. Aku belum tahu harus melamar
pekerjaan kemana. Masa sih aku menjadi pelayan di warung paman doang? Selagi
aku melamun di samping rumah, tiba-tiba ada seorang tentara lewat dan
menyapaku.
“Lagi apa
de, “Tanyanya.
“Lagi duduk
aja pak, “Jawabku sambil tersenyum menghormati orang yang ada di depanku.
“Boleh
kenalan gak, “Tanyanya. Aku agak gelagapan juga.
“Bo,…bo,…bo,
boleh Pak, “Jawabku
“Saya Santi
Pak, ponakannya Pak Soma, “Kataku
“Saya
Dimas, “Jawabnya pendek sambil mengulurkan tangan.
Kuterima
uluran tangannya sambil bertanya lagi.
“Sudah punya
anak berapa pak, “Tanyaku lagi. Pak Dimas malah tertawa ngakak, enak sekali.
“Santi, Santi,
kamutuh lucu, emangnya wajahku tua banget yah, sehingga kamu pikir aku udah
punya anak, “Ucapnya sambil menonjok tanganku pelan.
“Emang
bapak belum punya anak yah? Kenapa pak? Emang belum lama nikahnya?, “Tanyaku
lagi mengintrogasi.
“Ah kamu,
bukan begitu, aku masih bujangan kok, “Jawabnya sambil mencubit pinggangku.
“Masa sih
Pak?, “Jawabku tidak percaya.
“Emang aku
terlihat tua banget yah?, “Tanyanya lagi. Aku hanya tersipu malu. Lucu lihat
wajah Pak Dimas. Aku pikir dia tentara beranak tiga. Gaktahunya masih bujangan.
Perkenalanku
dengan Pak Dimas yang sekejap membuat aku berbunga-bunga. Entah mengapa,
seperti ada asa yang tiba-tiba menyergapku, saat kutahu dia masih bujangan.
Kupandangi wajahku di depan cermin, kupikir, “aku tidak terlalu jelek juga
ha…ha…ge-er banget, emangnya Pak Dimas mau sama aku, “Ucapku dalam hati.
Hari terus
berlalu, kucoba memasukkan lamaran kerjaku ke sana sini. Dan Alhamdulillah, ada
5 perusahaan yang memanggilku untuk interview. Semuanya aku datangi dan aku
mengambil tempat kerja yang aku anggap terbaik dan penghasilannya lumayan.
Aku
diterima di PT Wicaksana Overseas International bagian komputer karena aku
memiliki kemampuan mengoperasikan komputer.
Waktu terus
berlalu. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku. Namun jika hari Sabtu dan Minggu
aku libur. Kesempatan ini aku pakai untuk membantu pamanku di warung, Anggapkah
tenagaku ini adalah untuk membayar makan dan numpang tidurku.
Biasanya
jika aku libur, paman suka masak sambal, lalab dan ikan asin serta tahu tempe.
Aku senang sekali. Seperti biasa, aku suka minta pete cina yang masih muda di
kantor Pak Dimas. Saat aku sedang asyik nmengambil pete cina, tiba-tiba Pak Dimas datang sambil tertawa.
“Ti, kamu
doyan gituan sih, “Tanyanya sambil agak mencibir. Aku hanya tersenyum saja.
Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya. Pikiranku melayang tak jelas.
“Emangnya
kenapa Pak?ini enak lho, “Tanyaku
“Jangan
panggil aku Pak, berulang kali dibilangin juga, panggil aku nama saja, “Katanya.
“Yah gak
mungkin Pak, bapak itu lebih tua dari saya, masa manggil nama, “Jawabku manja.
Aku merasa nyaman saat dekat Pak Dimas. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang
hadir kembali setelah sekian lama aku merasakan kekosongan hati ditinggal oleh
orang yang aku kasihi.
“Ngeledek
kamu yah, aku ini masih abege tahu, baju ini aja yang membuatku terlihat tua,
“Jawab Pak Dimas.
“Iya, iya
Pak, eh … Mas Dimas, “Jawabku malu-malu.
“Ti,
kayaknya kalau punya istri kamu bisa irit yah, cukup dikasih garam, dilepas di
kebun juga hidup, ha…ha,…, “Kata Mas Dimas ngeledek.
“Mas
Dimas!, “aku merajuk sambil berteriak dan mencubit pahanya. Aku tak sadar, jika
teriakan cukup keras, sehingga teman-teman Mas Dimas melirik ke tempat kami
duduk.
“Aaaaw,
…sakit Santi, “Jawab Dimas sambil mengelus-elus pahanya.
“Ada apa
ini, yang satu teriak, yang satu teriak, jadi curiga saya, “Tanya komandan Mas
Dimas yang kebetulan lewat mau ke masjid.
“Gakada
apa-apa komandan, ternyata yang selama ini menghabiskan rumput dan tanaman di
kebun itu Santi komandan, “Jawab Dimas sambil melirik manja padaku. Sementara
itu komandan Dimas hanya geleng-geleng kepala saja.
“Maaf
komandan, saya sudah ijin sama piket, mintanya juga hanya sedikit kok, emangnya
saya kambing komandan, ngabisin rumput di kebun. Mas Dimasmah jahat komandan,
suka dilebih-lebihkan, “Jawabku menjelaskan.
“Kalian itu
kalau bertemu berantem melulu, bagaimana kalau jadi suami istri, bisa bahaya
nanti, “Kata komandan lagi
“Hah, jadi
suami istri!, “Jawabku dan Mas Dimas bersamaan.
“Tapi kalau
Santi dijadiin istri dilepas di kebun kasih garam juga hidup komandan, bisa
ngirit uang belanja ha,…ha,…ha,…, “Jawab Mas Dimas lagi menggodaku.
“Nah, bener
itu Dim, tahu sendiri gaji tentara itu kecil, Santi itu bisa diajak ngirit, “Jawab
komandan membela Dimas.
“Kok
Komandan membela Mas Dimas sih, licik ini dibelain, beraninya keroyokan, saya
pulang ah,…Komandan, “Jawabku sambil ngeloyor pergi.
“San,
Santi, digodain begitu saja kok ngambek, cepet tua nanti. Lihat aja di cermin
sana, wajahmu ngedadak lebih tua dari aku, “Teriak Dimas
“Enak aja,
gak mungkinlah, “Jawabku sambil berteriak juga.
Hari-hari
berlalu terasa indah, walau takada yang istimewa diantara kami. Mas Dimas
adalah temanku curhat. Setiap jam makan siang, Mas Dimas pasti menelponku
sekedar untuk menanyakan sudah makan atau belum.
Kebersamaan
kami berlangsung kurang lebih 3 tahun. Hingga suatu pagi, tiba-tiba Mas Dimas
menelponku.
“Ada apa
Mas pagi-pagi telepon, saya masih banyak kerjaan, “Kataku.
“San, kita
menikah yuk, saya lagi bete nih, “Kata Mas Dimas.
“Bete kok
pengen nikah, ha… ha,…, nikah itu butuh persiapan dan penyesuaian Mas, gak
semudah itu, “Jawabku.
“Aku serius
Santi, adikku yang dua sudah menikah, dan satu lagi adikku akan menikah,
orangtuaku meminta agar aku segera menikah, jangan sampai terlangkahi sampai 3
adik, famali, nah aku menikah sama siapa?, “Kata Mas Dimas.
“Yah sama
pacar Mas lah, masa sama saya, “Jawabku ketus, padahal ada nyeri di lubuk
hatiku saat mengatakan itu.
“Dia bukan
tipe yang bisa menerima aku apa adanya, dia maunya mewah terus, tidak seperti
kamu, jika aku gakpunya uangpun bisa dilepas dikebun, ha…, ha…, “Jawab Mas
Dimas di ujung sana. Aku gaktahu benarkah, selama ini Mas Dimas memiliki
seseorang yang dekat dengannya. Aku merasa cemburu. Padahal aku juga sedang
dekat dengan seorang dokter tapi aku tidak mau cerita sama Mas Dimas.
Yah, sudah
enam bulan ini aku dekat dengan dokter Riko, sebenarnya kalau pulang kerja Mas
Riko suka menjemputku. Dia baik sekali, akan tetapi dia belum tahu kapan akan
menikahiku. Dia bilang, ingin membahagiakan ibunya dulu. Aku tidak bisa berbuat
banyak. Aku bangga padanya yang sangat menghormati ibunya. Tapi aku bagaimana?
Seriuskah dia padaku?
“Mas udah
dulu yah, saya udah mulai banyak kerjaan nih, “Kataku.
“Pulang
kerja aku tunggu di kantor, “Kata Mas Dimas
“Iya,
Assalamualaikum, “Kataku.
“Waalaikumsalam
wr.wb, “Jawab Mas Dimas.
Sepulang
kerja seperti biasa aku langsung ke rumah, kemudian siap-siap sholat magrib.
Ternyata Mas Dimas benar-benar menungguku di kantornya.
Setelah aku
sholat magrib kutemui dia dan kami makan di rumah makan sunda langgananku.
Ternyata dua temannya ikut juga. Yah sudahlah, kami berempat makan di sana,
obrolan kami seru banget. Teman Mas Dimas menggoda kami, tapi kami
menanggapinya dengan tertawa saja.
Sepulang
kami makan, Mas Dimas mengantarku pulang.
“Santi,
jadi gimana?, “Tanya Mas Dimas.
“Apanya?,
“Tanyaku pura-pura lupa.
“Aku
serius, hubungan kita, “Kata Mas Dimas.
“Mas
telepon ke ibuku, jika ibuku menerima Mas, berarti akupun menerima, “Jawabku.
“Baiklah
kalau begitu, selamat istirahat yah, aku berharap kamu bisa serius denganku,
Assalamualaikum, “Ucap Mas Dimas dengan tatapan penuh cinta.
“Waalaikumsalam,
iya Mas, “Jawabku.
Malam ini
aku gelisah. Aku tak percaya jika Mas Dimas ingin menikahiku. Aku takut ini
hanya bercanda saja, makanya aku suruh bilang ke ibuku, jika dia berani
telepon, berarti dia serius.
Tak terasa,
malam semakin larut dan rasa kantuk mulai menyerangku.
Kring-kring,
suara gawaiku berbunyi. Aku baru selesai pekerjaan dan mau makan siang di
bawah. Tapi karena ada telepon masuk, aku pesan saja dan minta office boy mengantarkan makanan ke
lantai 5. Ternyata Mas Dimas.
“Santi,
tadi pagi saya sudah menelpon ibumu, dan beliau mengijinkanku dekat denganmu,
“Kata Mas Dimas serius.
“Yaudah
nanti Mas jemput aku sepulang kerja, aku mau makan dulu yah Mas, “Kataku.
“Ok, “Jawab
mas Dimas.
Aku heran,
mengapa saat kami ingin serius, sepertinya jadi kaku. Biasanya jam makan siang,
kami sering bercanda. Kini malah bingung apa yang harus dikatakan.
Sepulang
kerja Mas Dimas sudah menungguku di bawah, aku melihatnya dari lantai 5.
Teman-temanku pada menertawakanku, mereka meledekku karena mau sama tentara.
Namun aku tanggapi dengan senyuman saja.
Sepulang
kantor, kami mampir ke Ancol dan duduk di kursi pinggir pantai. Kami yang
biasanya bercanda tertawa. Namun hari ini kaku.
“Santi,
apakah benar kamu menerimaku, “Tanya Mas Dimas lagi memastikan.
“Kalau Ibu
merestui, berarti aku juga menerimamu Mas, tapi maaf saya belum mencintai Mas,
semoga seiring berjalannya waktu, saya bisa mencintai Mas, “Jawabku sambil
memandang ke pantai.
Kulihat Mas
Dimas melemparkan belatinya ke pohon kelapa, saking kencangnya hingga menancap
di pohon kelapa itu.
“Mas, aku
harap Mas mengerti karena mencintai itu tak semudah berteman seperti selama ini
kita jalani, apalagi Mas ingin kita ke jenjang pernikahan, aku harus
benar-benar menyiapkan diri, “Jawabku pelan.
“Tapi kamu
serius mau padaku kan?, “Tanyanya lagi sambil memandangku. Aku menganggukkan
kepalaku.
“Yaudah yuk
pulang udah magrib, “Kata Mas Dimas.
Inilah rahasia
di balik tembok kehidupan. Kebersamaan kami takada yang tahu. Ternyata perintah
ibuku ke Jakarta adalah untuk menjemput jodohku dan banyolan “dilepas di
kebun juga hidup” membuat hubungan kami menjadi semakin dekat
hingga ke jenjang penikahan. Alhamdulillah kedua orangtua kami merestui dan
pengajuan pernikahan ke kantor Mas Dimaspun berjalan dengan lancar sehingga
semuanya bisa dilaksanakan sesuai dengan rencana orangtua-orangtua kami.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar