Pengikut

Rabu, 06 April 2022

3. DILEPAS DI KEBUN JUGA HIDUP

 Sambungan.....



Hari kedua aku ikut bantu beres-beres di warung paman. Aku belum tahu harus melamar pekerjaan kemana. Masa sih aku menjadi pelayan di warung paman doang? Selagi aku melamun di samping rumah, tiba-tiba ada seorang tentara lewat dan menyapaku.

“Lagi apa de, “Tanyanya.

“Lagi duduk aja pak, “Jawabku sambil tersenyum menghormati orang yang ada di depanku.

“Boleh kenalan gak, “Tanyanya. Aku agak gelagapan juga.

“Bo,…bo,…bo, boleh Pak, “Jawabku

“Saya Santi Pak, ponakannya Pak Soma, “Kataku

“Saya Dimas, “Jawabnya pendek sambil mengulurkan tangan.

Kuterima uluran tangannya sambil bertanya lagi.

“Sudah punya anak berapa pak, “Tanyaku lagi. Pak Dimas malah tertawa ngakak, enak sekali.

“Santi, Santi, kamutuh lucu, emangnya wajahku tua banget yah, sehingga kamu pikir aku udah punya anak, “Ucapnya sambil menonjok tanganku pelan.

“Emang bapak belum punya anak yah? Kenapa pak? Emang belum lama nikahnya?, “Tanyaku lagi mengintrogasi.

“Ah kamu, bukan begitu, aku masih bujangan kok, “Jawabnya sambil mencubit pinggangku.

“Masa sih Pak?, “Jawabku tidak percaya.

“Emang aku terlihat tua banget yah?, “Tanyanya lagi. Aku hanya tersipu malu. Lucu lihat wajah Pak Dimas. Aku pikir dia tentara beranak tiga. Gaktahunya masih bujangan.

Perkenalanku dengan Pak Dimas yang sekejap membuat aku berbunga-bunga. Entah mengapa, seperti ada asa yang tiba-tiba menyergapku, saat kutahu dia masih bujangan. Kupandangi wajahku di depan cermin, kupikir, “aku tidak terlalu jelek juga ha…ha…ge-er banget, emangnya Pak Dimas mau sama aku, “Ucapku dalam hati.

Hari terus berlalu, kucoba memasukkan lamaran kerjaku ke sana sini. Dan Alhamdulillah, ada 5 perusahaan yang memanggilku untuk interview. Semuanya aku datangi dan aku mengambil tempat kerja yang aku anggap terbaik dan penghasilannya lumayan.

Aku diterima di PT Wicaksana Overseas International bagian komputer karena aku memiliki kemampuan mengoperasikan komputer.

Waktu terus berlalu. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku. Namun jika hari Sabtu dan Minggu aku libur. Kesempatan ini aku pakai untuk membantu pamanku di warung, Anggapkah tenagaku ini adalah untuk membayar makan dan numpang tidurku.

Biasanya jika aku libur, paman suka masak sambal, lalab dan ikan asin serta tahu tempe. Aku senang sekali. Seperti biasa, aku suka minta pete cina yang masih muda di kantor Pak Dimas. Saat aku sedang asyik nmengambil pete cina, tiba-tiba  Pak Dimas datang sambil tertawa.

“Ti, kamu doyan gituan sih, “Tanyanya sambil agak mencibir. Aku hanya tersenyum saja. Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya. Pikiranku melayang tak jelas.

“Emangnya kenapa Pak?ini enak lho,  “Tanyaku

“Jangan panggil aku Pak, berulang kali dibilangin juga, panggil aku nama saja, “Katanya.

“Yah gak mungkin Pak, bapak itu lebih tua dari saya, masa manggil nama, “Jawabku manja. Aku merasa nyaman saat dekat Pak Dimas. Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang hadir kembali setelah sekian lama aku merasakan kekosongan hati ditinggal oleh orang yang aku kasihi.

“Ngeledek kamu yah, aku ini masih abege tahu, baju ini aja yang membuatku terlihat tua, “Jawab Pak Dimas.

“Iya, iya Pak, eh … Mas Dimas, “Jawabku malu-malu.

“Ti, kayaknya kalau punya istri kamu bisa irit yah, cukup dikasih garam, dilepas di kebun juga hidup, ha…ha,…, “Kata Mas Dimas ngeledek.

“Mas Dimas!, “aku merajuk sambil berteriak dan mencubit pahanya. Aku tak sadar, jika teriakan cukup keras, sehingga teman-teman Mas Dimas melirik ke tempat kami duduk.

“Aaaaw, …sakit Santi, “Jawab Dimas sambil mengelus-elus pahanya.

“Ada apa ini, yang satu teriak, yang satu teriak, jadi curiga saya, “Tanya komandan Mas Dimas yang kebetulan lewat mau ke masjid.

“Gakada apa-apa komandan, ternyata yang selama ini menghabiskan rumput dan tanaman di kebun itu Santi komandan, “Jawab Dimas sambil melirik manja padaku. Sementara itu komandan Dimas hanya geleng-geleng kepala saja.

“Maaf komandan, saya sudah ijin sama piket, mintanya juga hanya sedikit kok, emangnya saya kambing komandan, ngabisin rumput di kebun. Mas Dimasmah jahat komandan, suka dilebih-lebihkan, “Jawabku menjelaskan.

“Kalian itu kalau bertemu berantem melulu, bagaimana kalau jadi suami istri, bisa bahaya nanti, “Kata komandan lagi

“Hah, jadi suami istri!, “Jawabku dan Mas Dimas bersamaan.

“Tapi kalau Santi dijadiin istri dilepas di kebun kasih garam juga hidup komandan, bisa ngirit uang belanja ha,…ha,…ha,…, “Jawab Mas Dimas lagi menggodaku.

“Nah, bener itu Dim, tahu sendiri gaji tentara itu kecil, Santi itu bisa diajak ngirit, “Jawab komandan membela Dimas.

“Kok Komandan membela Mas Dimas sih, licik ini dibelain, beraninya keroyokan, saya pulang ah,…Komandan, “Jawabku sambil ngeloyor pergi.

“San, Santi, digodain begitu saja kok ngambek, cepet tua nanti. Lihat aja di cermin sana, wajahmu ngedadak lebih tua dari aku, “Teriak Dimas

“Enak aja, gak mungkinlah, “Jawabku sambil berteriak juga.

Hari-hari berlalu terasa indah, walau takada yang istimewa diantara kami. Mas Dimas adalah temanku curhat. Setiap jam makan siang, Mas Dimas pasti menelponku sekedar untuk menanyakan sudah makan atau belum.

Kebersamaan kami berlangsung kurang lebih 3 tahun. Hingga suatu pagi, tiba-tiba Mas Dimas menelponku.

“Ada apa Mas pagi-pagi telepon, saya masih banyak kerjaan, “Kataku.

“San, kita menikah yuk, saya lagi bete nih, “Kata Mas Dimas.

“Bete kok pengen nikah, ha… ha,…, nikah itu butuh persiapan dan penyesuaian Mas, gak semudah itu, “Jawabku.

“Aku serius Santi, adikku yang dua sudah menikah, dan satu lagi adikku akan menikah, orangtuaku meminta agar aku segera menikah, jangan sampai terlangkahi sampai 3 adik, famali, nah aku menikah sama siapa?, “Kata Mas Dimas.

“Yah sama pacar Mas lah, masa sama saya, “Jawabku ketus, padahal ada nyeri di lubuk hatiku saat mengatakan itu.

“Dia bukan tipe yang bisa menerima aku apa adanya, dia maunya mewah terus, tidak seperti kamu, jika aku gakpunya uangpun bisa dilepas dikebun, ha…, ha…, “Jawab Mas Dimas di ujung sana. Aku gaktahu benarkah, selama ini Mas Dimas memiliki seseorang yang dekat dengannya. Aku merasa cemburu. Padahal aku juga sedang dekat dengan seorang dokter tapi aku tidak mau cerita sama Mas Dimas.

Yah, sudah enam bulan ini aku dekat dengan dokter Riko, sebenarnya kalau pulang kerja Mas Riko suka menjemputku. Dia baik sekali, akan tetapi dia belum tahu kapan akan menikahiku. Dia bilang, ingin membahagiakan ibunya dulu. Aku tidak bisa berbuat banyak. Aku bangga padanya yang sangat menghormati ibunya. Tapi aku bagaimana? Seriuskah dia padaku?

“Mas udah dulu yah, saya udah mulai banyak kerjaan nih, “Kataku.

“Pulang kerja aku tunggu di kantor, “Kata Mas Dimas

“Iya, Assalamualaikum, “Kataku.

“Waalaikumsalam wr.wb, “Jawab Mas Dimas.

Sepulang kerja seperti biasa aku langsung ke rumah, kemudian siap-siap sholat magrib. Ternyata Mas Dimas benar-benar menungguku di kantornya.

Setelah aku sholat magrib kutemui dia dan kami makan di rumah makan sunda langgananku. Ternyata dua temannya ikut juga. Yah sudahlah, kami berempat makan di sana, obrolan kami seru banget. Teman Mas Dimas menggoda kami, tapi kami menanggapinya dengan tertawa saja.

Sepulang kami makan, Mas Dimas mengantarku pulang.

“Santi, jadi gimana?, “Tanya Mas Dimas.

“Apanya?, “Tanyaku pura-pura lupa.

“Aku serius, hubungan kita, “Kata Mas Dimas.

“Mas telepon ke ibuku, jika ibuku menerima Mas, berarti akupun menerima, “Jawabku.

“Baiklah kalau begitu, selamat istirahat yah, aku berharap kamu bisa serius denganku, Assalamualaikum, “Ucap Mas Dimas dengan tatapan penuh cinta.

“Waalaikumsalam, iya Mas, “Jawabku.

Malam ini aku gelisah. Aku tak percaya jika Mas Dimas ingin menikahiku. Aku takut ini hanya bercanda saja, makanya aku suruh bilang ke ibuku, jika dia berani telepon, berarti dia serius.

Tak terasa, malam semakin larut dan rasa kantuk mulai menyerangku.

 

Kring-kring, suara gawaiku berbunyi. Aku baru selesai pekerjaan dan mau makan siang di bawah. Tapi karena ada telepon masuk, aku pesan saja dan minta office boy mengantarkan makanan ke lantai 5. Ternyata Mas Dimas.

“Santi, tadi pagi saya sudah menelpon ibumu, dan beliau mengijinkanku dekat denganmu, “Kata Mas Dimas serius.

“Yaudah nanti Mas jemput aku sepulang kerja, aku mau makan dulu yah Mas,  “Kataku.

“Ok, “Jawab mas Dimas.

Aku heran, mengapa saat kami ingin serius, sepertinya jadi kaku. Biasanya jam makan siang, kami sering bercanda. Kini malah bingung apa yang harus dikatakan.

Sepulang kerja Mas Dimas sudah menungguku di bawah, aku melihatnya dari lantai 5. Teman-temanku pada menertawakanku, mereka meledekku karena mau sama tentara. Namun aku tanggapi dengan senyuman saja.

Sepulang kantor, kami mampir ke Ancol dan duduk di kursi pinggir pantai. Kami yang biasanya bercanda tertawa. Namun hari ini kaku.

“Santi, apakah benar kamu menerimaku, “Tanya Mas Dimas lagi memastikan.

“Kalau Ibu merestui, berarti aku juga menerimamu Mas, tapi maaf saya belum mencintai Mas, semoga seiring berjalannya waktu, saya bisa mencintai Mas, “Jawabku sambil memandang ke pantai.

Kulihat Mas Dimas melemparkan belatinya ke pohon kelapa, saking kencangnya hingga menancap di pohon kelapa itu.

“Mas, aku harap Mas mengerti karena mencintai itu tak semudah berteman seperti selama ini kita jalani, apalagi Mas ingin kita ke jenjang pernikahan, aku harus benar-benar menyiapkan diri, “Jawabku pelan.

“Tapi kamu serius mau padaku kan?, “Tanyanya lagi sambil memandangku. Aku menganggukkan kepalaku.

“Yaudah yuk pulang udah magrib, “Kata Mas Dimas.

Inilah rahasia di balik tembok kehidupan. Kebersamaan kami takada yang tahu. Ternyata perintah ibuku ke Jakarta adalah untuk menjemput jodohku dan  banyolan “dilepas di  kebun juga hidup” membuat hubungan kami menjadi semakin dekat hingga ke jenjang penikahan. Alhamdulillah kedua orangtua kami merestui dan pengajuan pernikahan ke kantor Mas Dimaspun berjalan dengan lancar sehingga semuanya bisa dilaksanakan sesuai dengan rencana orangtua-orangtua kami.


                                                             Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fiorentia viviane lesmana