Sambungan, ...
Keesokan harinya,
…
Pagi-pagi
aku segera mandi, sholat dan sarapan. Semua perlengkapanku sudah aku siapkan.
Karena kata paman pukul 5.30 wib akan menjemput. Karena kami harus berjalan
kaki ke jalan besar sekitar 10 menit. Sementara mobil yang jurusan Tanjung
Priok adanya pukul 06.00 wib.
Tak berapa
lama paman datang. Sambil mengambil barang-barang di kamar, aku menguping
obrolan paman dan ibu. Intinya Ibu menitipkan aku, agar dijaga baik-baik.
Setelah itu
paman pamitan, begitupun denganku. Aku pamitan pada ibuku dan adik-adikku.
Sedih sekali rasanya. Karena memang ini adalah kali pertama aku berangkat jauh
dari keluarga dengan tujuan menetap di kota itu.
Tak berapa
lama bus yang kami tunggupun datang. Aku dan Paman Soma menaikinya. Aku meminta
agar Paman Soma menjagaku jika aku tertidur karena kepalaku pusing dan berat
sekali. Namun ternyata sulit untuk dipejamkan. Kuteringat pesan Ibu. Airmataku
terus berderai sepanjang perjalanan itu.
Suara mesin bus diiringi alunan musik melankolis menambah perihnya
hatiku. Aku enggan untuk pergi ke ibukota mengadu nasib mencari sesuap nasi dan
kebutuhan keluargaku. Dalam anganku, Jakarta adalah kota yang penuh polusi,
kejahatan dan kemunafikan.
Harapanku
untuk kuliah sirna sudah bersama mimpi yang tak pasti. Semua ini karena ayahku.
Orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarga, malah mengkhianati
kepercayaan keluarga. Selama ini Ibuku berjuang sendiri mencari nafkah untuk menutupi
kebutuhan hidup kami. Akupun terpaksa ikut sibuk membantu ibu, membuat es,
manisan, comro, urab-uraban, apa saja yang sekiranya bisa menjadi uang, ibuku
lakukan. Melihat perjuangan beliau, aku tak berani mengajukan permohonan untuk
kuliah, karena lulus sampai jenjang SMA
pun, aku sudah bersyukur. Kutahu banyak luka dan airmata yang dirasakan ibuku
untuk menutupi kebutuhan kami. Namun beliau tetap tersenyum, tegar. Beliau tak
ingin, anak-anaknya tahu bagaimana perjuangannya memenuhi kebutuhan hidup ini.
Kuseka
airmataku. Kutarik nafas panjang.
Kukuatkan hatiku. Aku tidak boleh cengeng. Demi Ibu dan adik-adikku, aku
harus berjuang bagaimana caranya agar mereka bisa bahagia dan kebutuhan
hidupnya terpenuhi.Biarlah impian menempuh pendidikan di perguruan tinggi hanya
tinggal impian. Yang penting hidupku bisa berguna untuk keluargaku.
Kupalingkan
wajahku keluar, kupandangi pemandangan alam yang begitu indah, seolah takada
duka dan luka yang menyelimutinya. Langit tersenyum melihat ketegaranku dan
pohon-pohon seakan ikut riang melihat bola mataku yang kembali berbinar-binar. Perjalanan Kuningan Jakarta cukup melelahkan.
Katanya kita bisa sampai sekitar 5 jam, itupun jika tidak macet.
Kupejamkan
mataku, tergambar bayangan masa-masa sekolah yang begitu indah. Takada beban
yang menggelayuti hatiku. Hari-hariku penuh tawa dan canda. Namun kini semua
itu tinggal kenangan. Kini aku harus sadar jika aku adalah anak pertama yang
harus jadi tulang punggung keluarga.
Buspun
berhenti. Ternyata kami sudah sampai Tanjung Priok dan pamanku mengajakku
segera turun. Akupun mengikuti paman. Kebetulan rumah paman tidak jauh dari
terminal, sehingga cukup dengan berjalan kaki saja kurang lebih 15 menit.
Sesampai di
rumah paman, aku langsung beres-beres dan istirahat. Sedangkan paman langsung
membantu bibi yang berjualan di warung.
“Huuuh,…
panas sekali, “umpatku dalam hati sambil mengipas-ngipas badanku. Jakarta
memang panas sekali. Walaupun sudah dinyalakan kipas angin, tetap saja panas.
Hari pertama rasanya berat sekali karena aku harus penyesuaian dengan panasnya
udara Jakarta.
Bersambung, ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar