Pengikut

Selasa, 05 April 2022

2. DILEPAS DIKEBUN JUGA HIDUP

 

Sambungan, ...



Keesokan harinya, …

Pagi-pagi aku segera mandi, sholat dan sarapan. Semua perlengkapanku sudah aku siapkan. Karena kata paman pukul 5.30 wib akan menjemput. Karena kami harus berjalan kaki ke jalan besar sekitar 10 menit. Sementara mobil yang jurusan Tanjung Priok adanya pukul 06.00 wib. 

Tak berapa lama paman datang. Sambil mengambil barang-barang di kamar, aku menguping obrolan paman dan ibu. Intinya Ibu menitipkan aku, agar dijaga baik-baik.

Setelah itu paman pamitan, begitupun denganku. Aku pamitan pada ibuku dan adik-adikku. Sedih sekali rasanya. Karena memang ini adalah kali pertama aku berangkat jauh dari keluarga dengan tujuan menetap di kota itu.

Tak berapa lama bus yang kami tunggupun datang. Aku dan Paman Soma menaikinya. Aku meminta agar Paman Soma menjagaku jika aku tertidur karena kepalaku pusing dan berat sekali. Namun ternyata sulit untuk dipejamkan. Kuteringat pesan Ibu. Airmataku terus berderai sepanjang perjalanan itu.  Suara mesin bus diiringi alunan musik melankolis menambah perihnya hatiku. Aku enggan untuk pergi ke ibukota mengadu nasib mencari sesuap nasi dan kebutuhan keluargaku. Dalam anganku, Jakarta adalah kota yang penuh polusi, kejahatan dan kemunafikan.

Harapanku untuk kuliah sirna sudah bersama mimpi yang tak pasti. Semua ini karena ayahku. Orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarga, malah mengkhianati kepercayaan keluarga. Selama ini Ibuku berjuang sendiri mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup kami. Akupun terpaksa ikut sibuk membantu ibu, membuat es, manisan, comro, urab-uraban, apa saja yang sekiranya bisa menjadi uang, ibuku lakukan. Melihat perjuangan beliau, aku tak berani mengajukan permohonan untuk kuliah, karena  lulus sampai jenjang SMA pun, aku sudah bersyukur. Kutahu banyak luka dan airmata yang dirasakan ibuku untuk menutupi kebutuhan kami. Namun beliau tetap tersenyum, tegar. Beliau tak ingin, anak-anaknya tahu bagaimana perjuangannya memenuhi kebutuhan hidup ini.

Kuseka airmataku. Kutarik nafas panjang.  Kukuatkan hatiku. Aku tidak boleh cengeng. Demi Ibu dan adik-adikku, aku harus berjuang bagaimana caranya agar mereka bisa bahagia dan kebutuhan hidupnya terpenuhi.Biarlah impian menempuh pendidikan di perguruan tinggi hanya tinggal impian. Yang penting hidupku bisa berguna untuk keluargaku.

Kupalingkan wajahku keluar, kupandangi pemandangan alam yang begitu indah, seolah takada duka dan luka yang menyelimutinya. Langit tersenyum melihat ketegaranku dan pohon-pohon seakan ikut riang melihat bola mataku yang kembali berbinar-binar.  Perjalanan Kuningan Jakarta cukup melelahkan. Katanya kita bisa sampai sekitar 5 jam, itupun jika tidak macet.

Kupejamkan mataku, tergambar bayangan masa-masa sekolah yang begitu indah. Takada beban yang menggelayuti hatiku. Hari-hariku penuh tawa dan canda. Namun kini semua itu tinggal kenangan. Kini aku harus sadar jika aku adalah anak pertama yang harus jadi tulang punggung keluarga.

Buspun berhenti. Ternyata kami sudah sampai Tanjung Priok dan pamanku mengajakku segera turun. Akupun mengikuti paman. Kebetulan rumah paman tidak jauh dari terminal, sehingga cukup dengan berjalan kaki saja kurang lebih 15 menit.

Sesampai di rumah paman, aku langsung beres-beres dan istirahat. Sedangkan paman langsung membantu bibi yang berjualan di warung.

“Huuuh,… panas sekali, “umpatku dalam hati sambil mengipas-ngipas badanku. Jakarta memang panas sekali. Walaupun sudah dinyalakan kipas angin, tetap saja panas. Hari pertama rasanya berat sekali karena aku harus penyesuaian dengan panasnya udara Jakarta.

                                                                                                                  Bersambung, ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fiorentia viviane lesmana