DILEPAS DI KEBUN JUGA HIDUP
oleh Lilis Ernawati, M.Pd
“Santi sini
Nak, duduk dekat Ibu, “Panggil Ibu. Aku menghampiri Ibu, sambil bertanya-tanya
dalam hati. Karena tumbenan Ibu memanggilku seperti itu. Serius sekali.
“Besok ikut
Paman Soma ke Jakarta yah, kamu tinggal di rumah paman, sambil mencari lowongan
pekerjaan, siapa tahu ada yang bisa menerima kamu, “Kata Ibu memohon.
Aku diam
saja, tak memberi jawaban. Karena sebenarnya aku ingin kuliah. Tapi aku sadar,
jika kemampuan Ibuku tidak memungkinkan.
“Ibu tidak
sanggup membiayai kamu kuliah Nak, Ibu doakan suatu hari nanti kamu ada rejeki
bisa kuliah sesuai dengan keinginan kamu, “Kata Ibu lagi, sepertinya Ibu
mengerti apa yang bergejolak dalam benakku.
“Baiklah
Bu, Santi beres-beres dulu, “Jawabku singkat sambil pergi ke kamar.
Kubuka
lemariku dan kupilih bajuku satu demi satu yang sekiranya masih layak dipakai.
Aku jarang sekali membeli baju, makanya sedikit sekali baju yang aku miliki. Lagipula
keseharianku lebih banyak di sekolah dan pramuka sehingga aku gak terlalu perlu
banyak pakaian bebas. Paling kalau di rumah pakai baju santai, yah baju
olahraga sekolah atau baju tidur.
Haripun
beranjak malam akan tetapi aku
tidak bisa tidur. Kubuka komputerku dan
kumulai mengetik apa yang menjadi uneg-uneg hatiku. Kemudian kuambil buku,
kutulis sebuah surat yang aku tujukan kepada guruku, Pak Susilo. Beliau adalah
guru matematika yang baik. Selama ini hubungan kami sangat dekat. Pak Susilo
kadang suka mengantarku pulang. Namun takada apa-apa diantara kami, selain
hubungan antara murid dan guru saja.
Namun aku
tahu jika Pak Susilo menaruh hati kepadaku sejak kelas 10. Pak Susilo adalah
bujangan yang sudah cukup umur di sekolah. Beliau tipe laki-laki yang baik,
akan tetapi kaku terhadap perempuan. Namun entah mengapa, beliau dekat
denganku.
Dalam
benakku, daripada aku berangkat ke Jakarta, lebih baik aku menanyakan
keseriusan Pak Susilo kepadaku. Sehingga aku tidak harus menumpang di rumah
saudara, mencari kerja dan lain-lain. Cukup menjadi seorang istri yang baik dan
diam di rumah, tak mengapa.
Anganku
semakin kacau. Dan airmataku tak terasa menetes di pipi. Aku merasa iri pada
teman-temanku yang bisa kuliah dan hidup mapan serta bahagia bersama
keluarganya. Sementara aku, hidup serba kekurangan dengan ibu dan adik-adikku.
Namun
herannya, teman-teman takada yang percaya jika aku hidup sengsara dan kurang
kasih kasih sayang. Karena saat bersama teman-teman aku jarang terlihat murung
apalagi bersedih. Aku dikenal sebagai cewek yang periang, disiplin dan sangat aktif
di sekolah. Takada yang tahu jika semua itu hanya pelampiasan dari kesedihanku
saja.
Malampun
semakin larut. Mataku sudah mulai perih dan mulutkupun menguap berkali-kali.
Kurebahkan badanku di pembaringan, setelah itu aku tak sadarkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar