TAKDIRKU,
MENGIRINGI JALAN HIDUPKU
Malam ini hujan membasahi kotaku. Dingin menyelimuti ruangan rumahku.
Aku duduk sendiri sambil berpikir dan
mengingat kembali masa-masa indah kecilku dulu. Aku terlahir di kota kuningan,
tepatnya di desa manislor. Di sana pula aku bersekolah SD, namanya SDN Manislor
3. Masa sekolah begitu indah, kami semua sangat takjim terhadap guru. Di pagi
hari saat guru belum datang, kami menunggunya di pintu gerbang, dan saat guru
datang, kami berhamburan menyambutnya, mencium tangannya dan membawakan
tas dan perlengkapan lainnya.
Guru bagi kami adalah pahlawan yang dirindukan. Mereka semua berasal
dari luar kampung kami. Mereka ke sekolah naik elf/angkot, mungkin karena gaji guru saat
itu terlalu kecil, sehingga untuk membeli motorpun mereka tidak mampu. Kemudian mereka harus jalan kaki sekitar 200 meter dari jalan raya menuju ke sekolah kami, melewati kebun bambu yang cukup lebat. Tapi
mereka tetap bersemangat dan selalu menebar senyum di bibirnya. Pesona guru membuat kami rindu, sehingga saat
mereka datang, kami segera menyambutnya, membawakan tasnya dan perbekalan makan
siangnya. Di ruangan kantorpun kami telah menyediakan segelas air putih di
masing-masing meja. Hal ini sudah menjadi rutinitas petugas piket yang dibagi setiap
hari secara bergantian. Walaupun ada penjaga sekolah, kami berpikir, penjaga
sekolah sudah terlalu lelah membersihkan lingkungan sekolah sehingga untuk di kelas masing-masing, itu
tanggung jawab piket kelas.
Saat pulang sekolah, aku senang jika bapak/ibu guru mau kami antar ke
jalan raya. Kami beramai-ramai mengantarkannya, agar bapak atau ibu guru tidak
merasa kesepian sepanjang jalan yang mereka
lewati. Mungkin ini salah satu barokahnya, sehingga saat ini aku bisa menjadi
seperti mereka, pendidik dan pengajar anak-anak bangsa. Sepulang sekolah, kami
ke masjid dan sholat berjamah, setelah itu kami menyalami semua jamaah yang
hadir, dan mereka mendoakan kami agar menjadi anak-anak yang pintar. Selesai
bersalaman, kami langsung mengaji, dengan guru seorang nenek yang bernama
Mak endek, hanya beliau saja yang
mengajar kami, sehingga wajar jika beliau sering marah karena lelah mengatur
kami dan mengajari kami. Saking banyaknya anak-anak yang berminat mengaji, Mak
endek sampai kewalahan. Dan jalan keluarnya adalah, anak-anak yang sudah
mengaji sampai Al-Quran disuruh mengajari adik-adiknya yang masih mengaji di
buku Iqro. Ini merupakan awal pembelajaranku menjadi seorang guru, walaupun
baru bohong-bohongan he..he…
Sejak SD prestasi belajarkupun sangat baik sehingga oleh guru-guru sering
dipercaya untuk menjelaskan lagi materi yang disampaikan di depan kelas,
begitupun saat SMP dan SMEA. Bagiku berbicara di depan kelas merupakan hal
biasa, ditunjang lagi oleh kegiatan berorganisasi yang aku ikuti dari SD. Waktu
SD ada kegiatan porseni yang dilaksanakan
oleh masing-masing kecamatan. Namun sebelum porseni dilaksanakan, kami
mendapatkan pelatihan yang dilaksanakan seminggu 2x selama tiga bulan. Aku
terpilih untuk mengikuti lomba puisi dan olahraga bulutangkis. Kami diajarkan
teknik-tekniknya agar bisa tampil dengan baik dan tidak mengecewakan. Ini
merupakan bekalku hingga lanjut ke sekolah yang lebih tinggi. Seiring
berjalannya waktu, kemampuanku semakin terasah dan rasa percaya diriku semakin
baik. Alhamdulillah beberapa kejuaraan sempat diraih, hingga akupun saat
SMP bisa terbawa kegiatan perkemahan
Jambore Nasional di Cibubur Jakarta tahun 1991 kemudian saat SMEA kembali
mengikuti kegiatan perkemahan Pertisaka Nasional di Cibubur Jakarta tahun 1992
setelah itu aku dipercaya menjabat sebagai ketua pramuka penegak dan pandega
Kabupaten Kuningan. Ini merupakan pengalaman berharga bagiku untuk terus maju.
Karena kondisi orangtuaku yang pas-pasan dengan jumlah anak yang lumayan
banyak sementara untuk kuliah butuh biaya besar, aku mengalah dan tidak mau
membebani orangtuaku untuk membiayaiku kuliah. Setamat SMEA aku bekerja di PT
Wicaksana, setelah itu baru kuliah dengan biaya sendiri dan mengambil jurusan
Manajemen Ekonomi. Namun sayang, di
semester lima tahun 1998, aku berhenti kuliah karena kekasihku, Yuda Parsudia
mengajakku menikah. Aku sudah putus harapan dan tidak pernah berangan-angan
untuk bisa melanjutkan kuliah lagi, karena tugas suamiku untuk sekolah,
membutuhkan biaya yang lumayan besar setelah itu pindah ke Batalyon 303
Cikajang Kostrad Garut dan mulailah kehidupanku sebagai anggota persit kartika
chandra kirana yang penuh dengan aktivitas. Harapanku untuk kuliah semakin
tenggelam. Aku sudah melupakannya seiring dengan kesibukanku di kantor suami
dan mengurus rumahtangga dengan dua anak.
Tahun 2007, kabut gelap menyelimuti keluargaku. Anakku yang baru lahir
dan berumur 20 hari meninggal dunia karena kedinginan. Saat itu, Garut masih
sangat dingin tidak seperti sekarang. Saat anakku meninggal, aku sempat
sakit dan divonis kanker darah. Aku terpuruk karena kepedihanku ditinggal
oleh anakku. Namun di tengah kepedihanku, aku dikunjungi istri anggota persit juga yang
bernama Lilis Dewi Ratnasari. Dia menghiburku dan mengajakku untuk kuliah.
Awalnya aku menolak karena aku tak tahu arah tujuanku selanjutnya. Apalagi
kondisiku yang kurang baik. Di kantor suamiku, akupun terkucilkan karena mereka
takut tertular oleh penyakitku. Namun, Lilis Dewi terus merayuku dengan harapan
agar aku tidak banyak melamun dan bisa sembuh dari sakitku.
Aku utarakan niatku untuk melanjutkan kuliah lagi. Namun suamiku tidak
mendukungnya. Dengan alasan, takut teman-teman di kampus mengucilkanku dan
sakitku bertambah parah. Aku tahu kekhawatiran suamiku dan kasih sayangnya padaku.
Namun, jika aku di rumah terus, aku yakin ……penyakitku akan terus
menggerogotiku. Karena aku tahu, ini bukan penyakit biasa, karena sebenarnya
bukan ragaku yang sakit, akan tetapi hatiku yang sakit karena belum ikhlas
dengan kepergian anakku.
Akhirnya aku putuskan kuliah lagi, tanpa tes dll, aku bisa masuk kuliah
jurusan Bahasa Indonesia di STKIP Garut,
itupun sebenarnya terlambat. Namun, karena kuasa Allah Rektor kampus mengijinkan.
Karena saat itu sudah bulan oktober dan siap-siap mau UTS, aku baru masuk. Banyak
tantangan yang harus aku hadapi setiap akan pergi kuliah, mulai dari ijin
suami, kegiatan di kantor suami bahkan anak-anakku yang masih kecil. Aku kadang
harus merengek seperti anak kecil, memohon ijin dari suamiku untuk berangkat
kuliah; aku juga harus menutup kupingku, dari celaan ibu-ibu persit lainnya
karena aku ijin tidak ikut kegiatan, bahkan aku harus membawa kedua anakku ikut
serta ke kampus, saat aku kuliah. Aku suruh mereka bermain di luar kelas, dan
aku berikan mereka bekal makanan. Inilah perjuanganku untuk memperoleh ilmu dan
kesembuhan dari penyakitku.
Alhamdulillah kesibukan di kampus dan tugas-tugas kampus membuatku
seakan terhanyut di dalamnya. Aku lupa, jika aku menderita kanker darah. Selain
itu, akupun mendapatkan nasihat dari para pengurus DKM Batalyon 303, agar aku
belajar sedikit demi sedikit untuk mengikhlaskan kepergian anakku. Karena penyakit
awalnya bersumber dari hati, jika hati kita sakit, maka jiwa dan raga kitapun
sakit. Aku sudah tidak berobat lagi setelah tiga bulan kuliah. Aku
tinggalkan 33 butir obat yang harus aku minum setiap hari pagi, siang dan
malam. Aku mulai sadar jika semua milik Allah akan kembali ke Allah.
Kuasa Allah takada yang tahu, tiga bulan kemudian, aku ditawari untuk
mengajar di Kecamatan Cigedug tepatnya di MTS Daaruttaqwa. Pengalamanku di masa
lalu untuk berbicara di depan umum menjadi bekal utamaku dalam mengajar. Semuanya
aku jalani tanpa pikir panjang, niatku hanya ingin sembuh dan mengamalkan ilmu
yang aku miliki. Saat itu teman bilang, jika di sana membutuhkan guru Bahasa
Indonesia, tapi masalahnya, guru-guru di sana di gaji jika ada, jika sekolah
tidak ada uang, yah… kami harus ikhlas beramal.
Jarak rumah ke sekolah itu sekitar 1 jam, lumayan jauh. Tapi aku tekuni
terus dan aku berusaha mengajar yang terbaik. Aku takpernah memikirkan
bayaranku. Dalam hatiku hanya ingin melupakan kepedihan ditinggal anakku dan aku terhibur
oleh murid-muridku di Sekolah.
Waktu terus berlalu, hingga akhirnya tibalah saatnya aku wisuda S1. Sesaat sebelum wisuda, ada
pengumuman pemberkasan sertifikasi. Aku ikut mengajukan dan Alhamdulillah lulus. Mungkin ini jalan dari Allah untuk
mengabdikan diriku di dunia pendidikan. Semua diluar rencanaku, akan tetapi
Allah lebih tahu apa yang terbaik untukku.
Tahun 2011 aku ikut PLPG. Saat itu aku baru melahirkan anakku yang ke
empat. Aku melahirkan di cesar, sehingga tidak boleh terlalu capek. Namun, hal
itu tidak mungkin, karena saat PLPG banyak tugas yang harus aku kerjakan, di samping
mengurus bayi kecilku walaupun ada pengasuhnya.
Waktu berjalan terus, setelah PLPG sertifikasi yang seharusnya milikku
cair, ternyata tidak, hampir tiga tahun aku menanti dengan penuh harap, akan
tetapi jawaban dari Mapenda Garut selalu bilang, sabar…dan sabar terus, hingga akhirnya
aku putuskan mengurus sendiri ke Departemen Agama di Jakarta. Padahal saat aku
ke Jakarta, diketahui masalahnya hanya penulisan NUPTK saja yang kurang satu
angka yang membuat sertifikasi guru
honorer harus digantung hingga tiga tahun. Masalah sepele yang tidak bisa
diselesaikan oleh Mapenda Garut dan Kanwil Jabar. Orang yang mengurus
sertifikasi di Jakartapun geleng kepala, mengapa masalah ini saja, harus
gurunya langsung yang datang ke Jakarta baru beres.
Semua aku ambil hikmahnya saja.
Aku bersyukur masih bisa menikmati sertifikasi ini. Saat S1 nilai IPK ku 3, 47,
sehingga dosen-dosen menyaranku melanjutkan kuliah S2. Namun aku berpikir dulu
karena suamiku harus sekolah kembali dan pindah tugas ke beberapa daerah,
termasuk Makasar. Saat di Makasar sempat terpikir melanjutkan S2, akan tetapi
suami keburu pindah lagi ke Jakarta, dan aku kembali ke Garut melanjutkan
aktivitasku sebagai guru honorer.
Di sinilah keinginanku kembali muncul untuk melanjutkan S2, apalagi
Dosenku, Dr. Agus Hamdani, M.Pd terus
menyemangatiku untuk melanjutkan S2. Alhamdulillah akupun mendapatkan ijin dari
suami untuk melanjutkan kuliah lagi di IPI Garut dan aku mendapatkan IPK, 3,78,
ini luar biasa dan diluar perkiraanku. Aku bersyukur dengan semua anugerah yang
Allah berikan, karena hingga saat ini aku diberikan kesehatan dan kebahagiaan
bersama orang-orang yang selalu mendukung dan mencintaiku untuk selalu
mengabdikan diriku di dunia pendidikan. Dan kini aku mengajar di MA Miftahul
Anwar Bayongbong serta menjadi dosen di STAIDA Muhammadiyah Garut.
Keikhlasanku berbuah manis, pemikiranku semakin luas dan aku semakin
haus akan ilmu. Aku ingin menulis dan terus menulis. Dosen di kampusku
sekaligus Rektor S2 IPI Garut, Dr Asep Nurjamin, M.Pd memperkenalkanku ke Ibu Erni dan Ibu Erni
memasukkanku ke grup tantangan menulis, hingga akhirnya bertemu dengan Om Jay
dkk yang terus menyemangatiku dan memberikan ilmunya kepadaku.
Terima kasih semuanya yang telah mendukungku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar