Pengikut

Sabtu, 15 Januari 2022

TAKDIRKU MENGIRINGI JALAN HIDUPKU

 

TAKDIRKU, MENGIRINGI JALAN HIDUPKU

 


Malam ini hujan membasahi kotaku. Dingin menyelimuti ruangan rumahku. Aku duduk sendiri  sambil berpikir dan mengingat kembali masa-masa indah kecilku dulu. Aku terlahir di kota kuningan, tepatnya di desa manislor. Di sana pula aku bersekolah SD, namanya SDN Manislor 3. Masa sekolah begitu indah, kami semua sangat takjim terhadap guru. Di pagi hari saat guru belum datang, kami menunggunya di pintu gerbang, dan saat guru datang, kami berhamburan menyambutnya, mencium tangannya dan membawakan tas  dan perlengkapan lainnya.

Guru bagi kami adalah pahlawan yang dirindukan. Mereka semua berasal dari luar kampung kami. Mereka ke sekolah  naik elf/angkot, mungkin karena gaji guru saat itu terlalu kecil, sehingga untuk membeli motorpun mereka tidak mampu.  Kemudian mereka harus  jalan kaki sekitar 200 meter  dari jalan raya menuju ke sekolah kami,  melewati kebun bambu yang cukup lebat. Tapi mereka tetap bersemangat dan selalu menebar senyum di bibirnya.  Pesona guru membuat kami rindu, sehingga saat mereka datang, kami segera menyambutnya, membawakan tasnya dan perbekalan makan siangnya. Di ruangan kantorpun kami telah menyediakan segelas air putih di masing-masing meja. Hal ini sudah menjadi rutinitas petugas piket yang dibagi setiap hari secara bergantian. Walaupun ada penjaga sekolah, kami berpikir, penjaga sekolah sudah terlalu lelah membersihkan lingkungan sekolah  sehingga untuk di kelas masing-masing, itu tanggung jawab piket kelas.

Saat pulang sekolah, aku senang jika bapak/ibu guru mau kami antar ke jalan raya. Kami beramai-ramai mengantarkannya, agar bapak atau ibu guru tidak merasa kesepian sepanjang jalan  yang mereka lewati. Mungkin ini salah satu barokahnya, sehingga saat ini aku bisa menjadi seperti mereka, pendidik dan pengajar anak-anak bangsa. Sepulang sekolah, kami ke masjid dan sholat berjamah, setelah itu kami menyalami semua jamaah yang hadir, dan mereka mendoakan kami agar menjadi anak-anak yang pintar. Selesai bersalaman, kami langsung mengaji, dengan guru seorang nenek yang bernama Mak  endek, hanya beliau saja yang mengajar kami, sehingga wajar jika beliau sering marah karena lelah mengatur kami dan mengajari kami. Saking banyaknya anak-anak yang berminat mengaji, Mak endek sampai kewalahan. Dan jalan keluarnya adalah, anak-anak yang sudah mengaji sampai Al-Quran disuruh mengajari adik-adiknya yang masih mengaji di buku Iqro. Ini merupakan awal pembelajaranku menjadi seorang guru, walaupun baru bohong-bohongan he..he…

Sejak SD prestasi belajarkupun  sangat baik sehingga oleh guru-guru sering dipercaya untuk menjelaskan lagi materi yang disampaikan di depan kelas, begitupun saat SMP dan SMEA. Bagiku berbicara di depan kelas merupakan hal biasa, ditunjang lagi oleh kegiatan berorganisasi yang aku ikuti dari SD. Waktu SD ada kegiatan porseni yang dilaksanakan  oleh masing-masing kecamatan. Namun sebelum porseni dilaksanakan, kami mendapatkan pelatihan yang dilaksanakan seminggu 2x selama tiga bulan. Aku terpilih untuk mengikuti lomba puisi dan olahraga bulutangkis. Kami diajarkan teknik-tekniknya agar bisa tampil dengan baik dan tidak mengecewakan. Ini merupakan bekalku hingga lanjut ke sekolah yang lebih tinggi. Seiring berjalannya waktu, kemampuanku semakin terasah dan rasa percaya diriku semakin baik. Alhamdulillah beberapa kejuaraan sempat diraih, hingga akupun saat SMP  bisa terbawa kegiatan perkemahan Jambore Nasional di Cibubur Jakarta tahun 1991 kemudian saat SMEA kembali mengikuti kegiatan perkemahan Pertisaka Nasional di Cibubur Jakarta tahun 1992 setelah itu aku dipercaya menjabat sebagai ketua pramuka penegak dan pandega Kabupaten Kuningan. Ini merupakan pengalaman berharga bagiku untuk terus maju.

Karena kondisi orangtuaku yang pas-pasan dengan jumlah anak yang lumayan banyak sementara untuk kuliah butuh biaya besar, aku mengalah dan tidak mau membebani orangtuaku untuk membiayaiku kuliah. Setamat SMEA aku bekerja di PT Wicaksana, setelah itu baru kuliah dengan biaya sendiri dan mengambil jurusan Manajemen Ekonomi.  Namun sayang, di semester lima tahun 1998, aku berhenti kuliah karena kekasihku, Yuda Parsudia mengajakku menikah. Aku sudah putus harapan dan tidak pernah berangan-angan untuk bisa melanjutkan kuliah lagi, karena tugas suamiku untuk sekolah, membutuhkan biaya yang lumayan besar setelah itu pindah ke Batalyon 303 Cikajang Kostrad Garut dan mulailah kehidupanku sebagai anggota persit kartika chandra kirana yang penuh dengan aktivitas. Harapanku untuk kuliah semakin tenggelam. Aku sudah melupakannya seiring dengan kesibukanku di kantor suami dan mengurus rumahtangga dengan dua anak.

Tahun 2007, kabut gelap menyelimuti keluargaku. Anakku yang baru lahir dan berumur 20 hari meninggal dunia karena kedinginan. Saat itu, Garut masih sangat dingin tidak seperti sekarang. Saat anakku meninggal, aku sempat sakit  dan divonis kanker darah.  Aku terpuruk karena kepedihanku ditinggal oleh anakku. Namun di tengah kepedihanku,  aku dikunjungi istri anggota persit juga yang bernama Lilis Dewi Ratnasari. Dia menghiburku dan mengajakku untuk kuliah. Awalnya aku menolak karena aku tak tahu arah tujuanku selanjutnya. Apalagi kondisiku yang kurang baik. Di kantor suamiku, akupun terkucilkan karena mereka takut tertular oleh penyakitku. Namun, Lilis Dewi terus merayuku dengan harapan agar aku tidak banyak melamun dan bisa sembuh dari sakitku.

Aku utarakan niatku untuk melanjutkan kuliah lagi. Namun suamiku tidak mendukungnya. Dengan alasan, takut teman-teman di kampus mengucilkanku dan sakitku bertambah parah. Aku tahu kekhawatiran suamiku dan kasih sayangnya padaku. Namun, jika aku di rumah terus, aku yakin ……penyakitku akan terus menggerogotiku. Karena aku tahu, ini bukan penyakit biasa, karena sebenarnya bukan ragaku yang sakit, akan tetapi hatiku yang sakit karena belum ikhlas dengan kepergian anakku.

Akhirnya aku putuskan kuliah lagi, tanpa tes dll, aku bisa masuk kuliah jurusan Bahasa Indonesia di STKIP Garut,  itupun sebenarnya terlambat. Namun,  karena kuasa Allah Rektor kampus mengijinkan. Karena saat itu sudah bulan oktober dan siap-siap mau UTS, aku baru masuk. Banyak tantangan yang harus aku hadapi setiap akan pergi kuliah, mulai dari ijin suami, kegiatan di kantor suami bahkan anak-anakku yang masih kecil. Aku kadang harus merengek seperti anak kecil, memohon ijin dari suamiku untuk berangkat kuliah; aku juga harus menutup kupingku, dari celaan ibu-ibu persit lainnya karena aku ijin tidak ikut kegiatan, bahkan aku harus membawa kedua anakku ikut serta ke kampus, saat aku kuliah. Aku suruh mereka bermain di luar kelas, dan aku berikan mereka bekal makanan. Inilah perjuanganku untuk memperoleh ilmu dan kesembuhan dari penyakitku.

Alhamdulillah kesibukan di kampus dan tugas-tugas kampus membuatku seakan terhanyut di dalamnya. Aku lupa, jika aku menderita kanker darah. Selain itu, akupun mendapatkan nasihat dari para pengurus DKM Batalyon 303, agar aku belajar sedikit demi sedikit untuk mengikhlaskan kepergian anakku.  Karena penyakit awalnya bersumber dari hati, jika hati kita sakit, maka jiwa dan raga kitapun sakit. Aku sudah tidak berobat lagi setelah tiga bulan kuliah. Aku tinggalkan 33 butir obat yang harus aku minum setiap hari pagi, siang dan malam. Aku mulai sadar jika semua milik Allah akan kembali ke Allah.

Kuasa Allah takada yang tahu, tiga bulan kemudian, aku ditawari untuk mengajar di Kecamatan Cigedug tepatnya di MTS Daaruttaqwa. Pengalamanku di masa lalu untuk berbicara di depan umum menjadi bekal utamaku dalam mengajar. Semuanya aku jalani tanpa pikir panjang, niatku hanya ingin sembuh dan mengamalkan ilmu yang aku miliki. Saat itu teman bilang, jika di sana membutuhkan guru Bahasa Indonesia, tapi masalahnya, guru-guru di sana di gaji jika ada, jika sekolah tidak ada uang, yah… kami harus ikhlas beramal.

Jarak rumah ke sekolah itu sekitar 1 jam, lumayan jauh. Tapi aku tekuni terus dan aku berusaha mengajar yang terbaik. Aku takpernah memikirkan bayaranku. Dalam hatiku hanya ingin melupakan  kepedihan ditinggal anakku dan aku terhibur oleh murid-muridku di Sekolah.

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya tibalah saatnya aku  wisuda S1. Sesaat sebelum wisuda, ada pengumuman pemberkasan sertifikasi. Aku ikut mengajukan dan Alhamdulillah  lulus. Mungkin ini jalan dari Allah untuk mengabdikan diriku di dunia pendidikan. Semua diluar rencanaku, akan tetapi Allah lebih tahu apa yang terbaik untukku.

Tahun 2011 aku ikut PLPG. Saat itu aku baru melahirkan anakku yang ke empat. Aku melahirkan di cesar, sehingga tidak boleh terlalu capek. Namun, hal itu tidak mungkin, karena saat PLPG  banyak tugas yang harus aku kerjakan, di samping mengurus bayi kecilku walaupun ada pengasuhnya.

Waktu berjalan terus, setelah PLPG sertifikasi yang seharusnya milikku cair, ternyata tidak, hampir tiga tahun aku menanti dengan penuh harap, akan tetapi jawaban dari Mapenda Garut selalu bilang, sabar…dan sabar terus, hingga akhirnya aku putuskan mengurus sendiri ke Departemen Agama di Jakarta. Padahal saat aku ke Jakarta, diketahui masalahnya hanya penulisan NUPTK saja yang kurang satu angka yang  membuat sertifikasi guru honorer harus digantung hingga tiga tahun. Masalah sepele yang tidak bisa diselesaikan oleh Mapenda Garut dan Kanwil Jabar. Orang yang mengurus sertifikasi di Jakartapun geleng kepala, mengapa masalah ini saja, harus gurunya langsung yang datang ke Jakarta baru beres.

 Semua aku ambil hikmahnya saja. Aku bersyukur masih bisa menikmati sertifikasi ini. Saat S1 nilai IPK ku 3, 47, sehingga dosen-dosen menyaranku melanjutkan kuliah S2. Namun aku berpikir dulu karena suamiku harus sekolah kembali dan pindah tugas ke beberapa daerah, termasuk Makasar. Saat di Makasar sempat terpikir melanjutkan S2, akan tetapi suami keburu pindah lagi ke Jakarta, dan aku kembali ke Garut melanjutkan aktivitasku sebagai guru honorer.

Di sinilah keinginanku kembali muncul untuk melanjutkan S2, apalagi Dosenku, Dr. Agus  Hamdani, M.Pd terus menyemangatiku untuk melanjutkan S2. Alhamdulillah akupun mendapatkan ijin dari suami untuk melanjutkan kuliah lagi di IPI Garut dan aku mendapatkan IPK, 3,78, ini luar biasa dan diluar perkiraanku. Aku bersyukur dengan semua anugerah yang Allah berikan, karena hingga saat ini aku diberikan kesehatan dan kebahagiaan bersama orang-orang yang selalu mendukung dan mencintaiku untuk selalu mengabdikan diriku di dunia pendidikan. Dan kini aku mengajar di MA Miftahul Anwar Bayongbong serta menjadi dosen di STAIDA Muhammadiyah Garut.

Keikhlasanku berbuah manis, pemikiranku semakin luas dan aku semakin haus akan ilmu. Aku ingin menulis dan terus menulis. Dosen di kampusku sekaligus Rektor S2 IPI Garut, Dr Asep Nurjamin, M.Pd  memperkenalkanku ke Ibu Erni dan Ibu Erni memasukkanku ke grup tantangan menulis, hingga akhirnya bertemu dengan Om Jay dkk yang terus menyemangatiku dan memberikan ilmunya kepadaku.

Terima kasih semuanya yang telah mendukungku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fiorentia viviane lesmana